Epilog

537 24 10
                                    

Aku pernah bertemu pelangi kemudian bertanya, mustahil kah jika ku minta agar kamu tetap disini?

Dia menjawab, "Mungkin, tapi akan ada lebih banyak air mata yang jatuh. Aku bukan keindahan singkat yang kamu datangkan dengan mudah tanpa mengeluarkan peluh apapun. Aku hadiah jatuh-bangunmu, aku kepuasan usahamu, aku senyuman di akhir kesakitanmu."

Jawabannya membuatku merenungkan beberapa hal sampai rasanya aku tidak setuju dengan perkataannya, aku ingin dia yang selamanya. "Tapi kamu juga fana. Kamu bisa hilang secepat angin bahkan ketika aku hanya memalingkan wajahku pada genangan air untuk melihat keindahanmu dari sudut pandang lain. Kamu bahkan hilang di siang cerahku, itu tidak adil."

Pelangi tersenyum, rasanya aku menyesal, rasanya aku sekarang rela harus jadi bagaimana pun agar bisa tetap melihat senyum itu lagi.

"Aku cerah setelah hujan-mu. Aku bukan terik di harimu. Langit siangmu mungkin indah, tapi aku membuat langitmu berwarna."

"Tapi lambat laun kamu juga akan hilang.."

"Berarti kamu tidak boleh menghentikan peluhmu, kamu tidak boleh takut akan buliran yang jatuh di pipimu, kamu tidak boleh menginginkanku tanpa usaha. Jadi, terus perjuangkan aku ya."

Bagiku, Emily sama seperti pelangi itu. Dia harapan di kejatuhan, dia keindahan pengganti petir, dia warna di langit gelapku. Dia bukan kesenangan yang bisa kamu hambur-hamburkan setelah kamu dapatkan.

"Gev?" Panggil Emily yang sedang duduk di depanku.

"Kenapa?" Tanyaku masih tidak bisa berpaling dari wajahnya.

"Kok waktu itu bisa ya lo nemuin gue disini? Gue 2 jam disini dan sama sekali ga nemuin tanda-tanda ada lo loh." Tanyanya heran.

Aku tersenyum mendengar kebingungannya, "Kan sekarang gue yang punya Marilyn's." Jawabku.

"Apa dah gue seriusan nanya." Katanya kesal karena mengganggap jawabanku tidak serius.

"Kenapa harus ngga serius coba?"

Dia terdiam, namun seperti tidak ingin mengalah dia kembali membuka mulutnya, "Seriusan ah." Katanya masih tidak percaya.

"Coba liat deh sekeliling lo, banyak bunga matahari kan, kenapa bunga matahari? Gatau juga sih, apa lo maunya lili? Trus liat di atas banyak lampion, duh siapa lagi yang masih pengen nerbangin lampion-lampion kaya di film Tangled? Pasti pengen punya satu kan lampionnya." Kataku.

Air mukanya berubah seketika seperti terkejut karena tebakanku benar, sepertinya aku memang terlalu mengenal kamu.

"Mantap mantap Gevin Sebastien memang tidak pernah mengecewakan." Katanya sambil bertepuk tangan.

Aku hanya tertawa kecil, "Gue ke toilet dulu ya." Kataku sambil berdiri dari sofa, tidak aku tidak ingin benar-benar pergi ke toilet.

Dia hanya mengangguk kecil.

Setelah menunggu cukup lama di balik tembok cafe dan memastikan jika balonku sudah diberikan oleh pelayanku padanya, aku kembali lagi ke meja kami.

"Apalagi nih balon-balon. Disuruh dipecahin lagi." Tanyanya ketika aku sampai di meja.

"Pecahin dong." Pintaku.

"Gila lo ya." Katanya enggan untuk memecahkan balon itu.

"Kalo gamau dipecahin lo gabakal tau balonnya buat apa."

"Kapan penyiksaan ini akan berakhir."

"Gue kan cuma ngasih lo balon."

"Lo nyuruh gue mecahin balon."

"Yaudah pecahin aja, cuma balon."

Akhirnya setelah aku bujuk berkali-kali, dia pun menurut. Saat balon itu dipecahkan sebuah kotak berwarna merah maroon jatuh di meja kami. Emily mengambilnya dengan ekspresi sama sekali tidak mengerti apa tujuan dari semua ini. Dia membuka kotak itu dan seketika pupilnya melebar seperti ingin berlari keluar dari matanya.

"Gev?" Tanyanya pelan.

"Mly, nikah yuk."

Nyatanya setelah 8 tahun aku masih bertahan pada pelangi itu, mungkin seumur hidup juga pun tak masalah.

Till We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang