After

308 13 3
                                    

Aku merapikan jaketku, sekali lagi, rasanya gugup sekali. Entah kenapa setiap kembali kesini aku selalu merasa gelisah, oh bukan entah kenapa, aku tau alasan pastinya. 30 bulan berlalu, sekian banyak musim berganti, berapa banyak lagu mengalun tapi aku tau perasaan itu masih disini. Kita 8300 miles jauhnya tapi wajahmu masih terasa dekat di ingatanku.

Sudah keempat kalinya aku merasakan tanganku mendingin ketika menginjakkan kaki di bandara ini. Seperti udara Jakarta tidak cukup panas untuk membuatku kembali mengingat bahwa aku sedang pulang ketika berada disini, mungkin pulang-ku kurang tepat, mungkin harusnya aku pulang padamu. Tapi mungkin siapapun di semesta ini tau kalau kamu bukan tempatku untuk berpulang lagi.

"Abyan?"

"Hm? Kenapa Lang?" tanyaku saat Elang memanggilku, 1 langkah menjauhkanku dari sisi melankolisku setiap kali berada di Jakarta.

"Lo nyariin dia.. lagi?" tanya Elang hati-hati.

"Ngga, dia juga pasti lagi repot." Jawabku.

"Tanpa gue bilang dia siapa juga pikiran lo selalu tertuju ke dia ya?" tanya Elang sambil mengambil tas berwarna coklat di tangan kiriku.

Elang benar, tidakkah bertahun-tahun di Seattle harusnya cukup untuk sekedar melupakan sebuah rasa pada masa SMAku?

Sekedar melupakan, katanya.

"Gua kan udah bilang Bi lu kalau ga sanggup gausah kesini. Gua yang rasanya pengen nonjok lo supaya lo sadar galau lo kelamaan, masa bule Seattle ga ada yang nyangkut."

Aku tersenyum kecil, rindu ini sudah seperti tonjokan untukku setiap kali wajahnya mampir di kepalaku, setiap kali namanya muncul di kontak Skype-ku, setiap kali aku mengingat kenapa dulu aku memutuskan untuk melepaskan tangan itu.

Aku tau dari sekian banyak alasan yang bisa kugunakan tidak ada satupun yang tepat untuk mewakili alasan kepergianku saat itu. Singkatnya, sebuah suara di otakku berkata bahwa aku butuh pergi dan mungkin jika nanti aku kembali kita mungkin sudah tidak berarti. Jadi disitu aku dulu, mematahkan kita, meneriakinya bahwa berjalan bersamanya sesulit itu sampai aku tega meninggalkan dirinya.

Tapi sekarang, disini, apa yang sedang aku lakukan? Menangisinya setiap malam memohon dia untuk kembali?Siapa yang peduli? Dulu aku yang pergi.

"Gua waktu itu sempet ikut dia foto prewed, ngga bukan foto prewed sama gua tapi maksudnya gua liatin gitu. Yah kenapa yah, gua juga ikut andil dalam persiapan pernikahan dia seakan-akan dia nikahnya sama lo. Dulu ya Bi dulu, pas lo pertama kali bawa dia ke rumah sumpah gua ngeliat dia kaya 'wah ini cewe kayanya nanti bakal nikah sama abang gua' tapi ironis banget sekarang gua malah bantuin nikahan dia sama orang lain." Kata Elang.

"Lang? Kalau gua dulu minta dia nunggu, dia bakalan.. mau ngga ya?" tanyaku.

Elang menatapku heran, "Lu beneran harus gua tonjok apa ya? Iyalah, pake nanya lagi. Gua semakin yakin lu kuliah di Seattle nyogok ya."

"Tapi—"

"Pas lu pergi, gua pernah minta maaf sama dia. Gua minta maaf karena lu pergi, gua ngerasa gua perlu bertanggung jawab atas ketololan lo trus karena gua selalu ada disitu jadinya dia suka sama gua—gadeng ya enggalah plot twist abis. Kalo ada fanbase Abyan-Emily Forever gua fix sih bakal jadi ketuanya gilaaa siapa yang gamau punya kakak ipar kaya Elle Fanning woi."

"Sebenernya inti cerita lu apa sih?"

"Gua mau bikin lu tambah nyesel aja bodo amat lu mau ga move on 5 tahun kek I just want to show you that something you left years ago fucking worth it."

Something I left years ago.

Harusnya aku tau saat dimana aku mengucapkan selamat tinggal kepadamu akan menjadi hari dimana semua penyesalanku akan bertumpuk. Kata orang, tidak ada yang selamat saat ditinggal. Aku bahkan yang tidak selamat, penyesalanku akan setiap hari setiap kesempatan bertahun-tahun untuk mengembalikanmu terbuang-buang sia-sia di depan mata kepalaku sendiri.

Till We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang