Emily POV.
Gue turun dari mobil tanpa menengok kanan kiri. Bahkan enggan untuk menyapa Rayyan yang kebetulan berpapasan sama gue di koridor IPA tadi. Sorry Ray.
Gue berjalan dengan langkah yang bener-bener ga niat ke loker gue. Dan ya Tuhan, loker-loker ini benar-benar perlu warna yang berbeda-beda di tiap lokernya. Gimana bisa gue nemuin loker gue tanpa ngeliatin satu-satu nomer loker di deratan kanan gue ini?
“Eh lo liat ga yang di lapangan kemaren yang anak baru kelas 12 yang cogan itu berantem sama anak kelas 11?”
“Eh iya iya liat, berantem sama Emily yang anak baseball itu kan?”
“Iya gila ya, kan blablablabla—“
Useless shit.
Ngapain coba ngurusin hidup orang? Emang gue minta diurusin apa?
Gue membuka loker gue dengan tergesa-gesa yang menimbulkan bunyi berisik yang bisa terdengar sampai ke kuping cewe-cewe yang barusan ngomongin gue itu. Dan mereka sontak langsung panik dan buru-buru pergi dari tempat bergosip mereka itu. Ga penting.
Gue mengambil beberapa buku yang diperluin buat pembelajaran hari ini dan beberapa surat yang ada di loker gue. Palingan isinya surat-surat benci gara-gara insiden kemarin. Kemudian gue membuang surat-surat itu ke tempat sampah. Para ‘penyampah’ membuat sampah dan sampah harus kembali ke tempatnya bukan?
Gue berjalan cepat menuju kelas gue tanpa berniat untuk mendengarkan ocehan sok tau anak-anak yang kemarin ngeliat insiden itu. Bener-bener ga punya waktu buat ngedengerin omong kosong mereka. Ketika gue sampai di pintu kelas, ada seorang cowo berambut coklat terang lengkap dengan sweater hitamnya yang melekat pas di tubuhnya. Dia sedang menunduk, bahkan tanpa melihat wajahnya gue udah tau dia siapa. Cowo itu menengadahkan kepalanya dan kemudian tatapan kita bertemu. Gue buru-buru menggerakan kaki gue memasuki pintu kelas sampai tiba-tiba sebuah tangan menahan lengan kanan gue.
“Mau apa lagi sih, Gev?” tanya gue dengan nada tinggi.
“Tunggu sebentar.” Mohon Gevin.
“1 menit.”
“Itu ga—oh oke-oke,” kata Gevin sambil menunduk, “I’m sorry.” Lanjut Gevin sambil menengadahkan kepalanya dan menatap gue.
“20 detik.” Kata gue sambil memutar bola mata gue.
“Maafin gue.”
“Kenapa harus?”
“Because we are.. super mega bestfriend. And there’s no us without u. It’s not the same without you, please Em.”
“Aw I’m feeling touched.” Kata gue sarkas sambil menyentuh dada gue, “60 seconds. And bye.” Lanjut gue sambil berlalu ke dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till We Meet Again
Novela JuvenilBaginya, Emily bukan hanya sekedar perempuan yang hadir di hidupnya dan lewat begitu saja. Emily mengajarinya bahwa menginginkan sesuatu berarti perjuangan. Namun ia juga tau menatap perempuan itu sama saja seperti mengingatkannya akan banyak hal di...