Entah yang keberapa kali Cinta membenarkan posisi duduknya. Ia terlihat sangat gelisah. Kedua tangannya saling meremas tanpa ia sendiri sadari. Bahkan dalam kalbunya, ia terus merapalkan doa. Hingga pintu itu terbuka, dan seseorang yang ia tunggu telah menampakkan diri di depannya itu tersenyum—Cinta baru bisa bernapas lega.
"Bagaimana?", cetusnya seketika ia berdiri mendekati seseorang yang telah ia tunggu lama.
Pemuda itu tersenyum begitu lebar. Bukan karena apa yang telah ia raih di dalam sana, tapi karena gadis di depannya yang nampak begitu mengkhawatirkan dirinya. "Sukses dong bu dosen! Alhamdulillah aku lulus!", ujarnya yang sontak membuat Cinta begitu gembira—meninggalkan jauh-jauh kecemasan yang selama empat puluh lima menit menggerogoti dirinya.
"Alhamdulillah!", Cinta refleks mengucapkan syukur. Akhirnya ia telah merasa lapang. Kegugupannya kali ini dua kali lipat dari enam bulan yang lalu ketika ia menjalani hal serupa.
"Kamu sepertinya lebih gugup dari ku, bu dosen?"
"Tentu saja! Kamu yang selalu membuat ku gugup dan khawatir, Al!"
Sekali lagi, pemuda bernama Alfaero itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan senyum lebarnya. Bagaimana tidak? Seseorang yang amat ia sayangi mengkhawatirkannya sedemikian rupa. Tidak adakah yang lebih membahagiakan dari itu? Bahkan rasanya lebih bahagia dari pernyataan dosen-dosen pengujinya beberapa menit lalu yang menyatakan bahwa ia lulus dalam ujian skripsi.
"Kenyataannya aku nggak mengecewakanmu kan?"
Cinta akhirnya tersenyum, "Ya.. aku bangga sama kamu, Al! Selamat ya!", ujarnya tulus.
"Yah, semua ini juga karena kamu yang membantu ku, bu dosen!"
"Aku hanya membantu sedikit dan berhenti memanggilku 'bu dosen' seperti itu. Statusku baru dosen magang—nggak jauh beda dengan asisten dosen, hanya gajihnya aja yang lebih gede"
Ya. Setelah Cinta menyelesaikan skripsinya enam bulan yang lalu, ia langsung diminta untuk mengajar di kampusnya. Statusnya memang baru dosen magang. Akan resmi menjadi dosen tetap setelah Cinta menyelesaikan S2nya.
"Okeh deh Cinta—ku. Habis ini temenin ke café depan kampus ya! Perutku sudah berteriak minta diisi"
Cinta hanya mengangguk sebagai jawaban. Wajahnya tidak lagi merona ketika Alfaero memanggil dirinya seperti itu. Ia sudah kebal dengan tingkah polah Alfaero yang suka menggodanya. Rasa nyaman—itu yang sekarang ia rasakan.
****
Nasi goreng. Alfaero sekarang mengetahui makanan favorit Cinta. Dimanapun gadis itu di ajak makan, ia selalu saja memesan nasi goreng. Pernah Alfaero menawarinya menu makanan yang asing ditelinga Cinta, namun gadis itu menolak. Takut tidak bisa memakannya—mubajir. Jadi Cinta lebih memilih memesan nasi goreng.
"Habis ini, kamu mau lanjutin S2, Al?", Cinta bertanya disela makan siang mereka.
Alfaero menggeleng, "Sepertinya aku mau kerja dulu di perusahaan bokap. Mungkin entar ngambil S2, tapi yang sabtu minggu aja atau kalau rajin ambil kelas malam"
"Bukannya Pak Wira pengen kamu lanjutin S2 di luar ya?"
"Aku nggak mau. Lagian bokap juga dulu nolak pas kakek pengen bokap lanjutin kuliah di luar. Jadi aku juga berhak nolak kan?"
"Tapi kenapa? Sayang lho ada kesempatan kuliah bagus di luar tapi disiain"
Alfaero meletakkan sendoknya dan menatap Cinta dalam, "Kalo aku kuliah di luar, itu artinya kita gak akan ketemu dalam waktu yang lama. Tentu aku nggak mau! Lebih baik aku kuliah di sini aja, bisa sambil kerja. Setahun kerja ku rasa cukup punya tabungan buat kita nikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Salah Cinta?
RomanceD. Boy Series 1 Cinta Anggraini, gadis berusia 20 tahun yang kelahirannya tidak di inginkan. Ibunya depresi sehingga membuat sang nenek menitipkannya ke sebuah panti asuhan. Ia yang mengetahui bagaimana latar belakangnya, membuat dirinya menjalankan...