29. Mother

432 37 39
                                    




"Cinta itu—anak kamu—Jihan"

Kedua pupil Jihan membesar—gurat wajahnya menyiratkan ketidak percayaan. " Ng—gak—mung—kin! Ibu becanda kan?"

Gelengan kepala dari Arsih menghempaskan keraguaannya—memaksanya untuk mempercayai sesuatu yang tidak ingin ia percayai.

"Bagaimana bisa, bu? Bukankah ibu bilang dia meninggal sewaktu ku lahirkan?", suaranya tercekat. Ia sendiri tentu tidak buta. Jelas ibunya tidak berbohong soal status Cinta sebenarnya. Cinta mirip dengan dirinya dan pria itu—tentu sekarang ia menyadarinya. Tapi mengapa? Mengapa selama ini ibunya berbohong akan keberadaan gadis itu?

"Maafkan ibu. Hanya itu satu-satunya jalan yang ibu pikirkan. Kamu begitu depresi dengan kehadirannya di dalam rahimmu. Berapa kali kamu mencoba bunuh diri—mencoba membunuh janinmu sendiri beserta dengan dirimu juga, apa iya ibu akan membiarkan kamu melihat bayi itu? Meminta kamu menyusuinya—merawatkanya? Sedangkan kamu—", Arsih tidak sanggup untuk menuntaskan kalimat itu. Begitu menyakitkan mengingat masa lalu. Mengingat anaknya seperti orang gila. Bahkan terparahnya mencoba untuk bunuh diri berkali-kali. Apa ia sanggup melihat putrinya lebih menderita lagi?

"..."

"Bahkan setiap kali kamu melihat Cinta, kamu berteriak histeris karena mengingat bajingan itu. Jadi bagaimana bisa ibu membiarkan dia bersama mu? Sedangkan kamu sendiri tidak sanggup dengan kehadirannya."

Jihan terisak. Itu benar. Sekelabat memori yang selalu terlupa kini mengitarinya. Membuat dirinya teringat akan hal-hal yang ia sempat lewatkan. Bagaimana histerisnya ia ketika melihat binar terang darah dagingnya itu. Betapa gadis itu menangis—terpukul dan terluka. Bagaimana ia menjerit—mengumpat dan memaki gadis tak berdosa itu—mengumpamakan bahwa dia adalah bajingan itu. Batapa tidak adilnya ia. Tapi bukankah takdir yang telah bersikap tidak adil padanya?

Arsih merengkuhnya—menariknya dalam dekapan hangat seorang bunda. Ia usap pelan punggung yang kini bergetar penuh kesakitan. Ia juga tidak ingin seperti ini—ia tidak pernah mau. Putri satu-satunya yang sangat ia cintai. Putri kecilnya warisan almarhum suaminya harus mendapatkan takdir kejam seperti ini. Ia sungguh merasa gagal menjadi seorang ibu.

Jadi dia hidup

Tiga kata itu mengiringi bulir-bulir yang menganak dipelupuk mata Jihan. Mengalir deras tanpa dapat ia henti.

Janin yang ia benci—janin yang tak ia inginkan. Janin itu kini telah tumbuh menjadi seorang gadis. Gadis yang selama ini ia siakan namun selalu berusaha untuk menghiraukannya—disisinya diam-diam.

Apa yang harus ia lakukan? Menerimanya kah atau kembali mengabaikannya? Apa ia sanggup melakukan di antara kedua pilihan itu? Kenapa dua-duanya terasa berat?

Wira menatap dua orang itu dengan nanar. Ia tidak berani mendekat. Itu bukan garis kuasanya. Ia tidak berhak. Karena itu ia hanya dapat bergeming di ambang pintu—tanpa dapat melakukan sesuatu apapun—hanya meyaksikan kesakitan itu.

Ini juga salahnya—tentu salahnya. Andai ia tidak pergi begitu saja, semua tidak akan begini—itulah yang terus berputar dalam benaknya—penyalahan diri sendiri. Namun apakah itu mampu untuk menebus segalanya? Apakah dapat membantu untuk mengubah takdir kejam yang telah berlaku?—tentu tidak—Wira juga menyadari itu. Bahkan jika ia telah bertemu dengan bajingan itu—membunuhnya—tentu tidak dapat menghapus segalanya.

Ia harus melakukan sesuatu. Ya. paling tidak untuk sedikit menyembuhkan luka. Karena tidak ada luka yang tak dapat untuk diobati, sebesar apapun luka itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apa Salah Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang