28. Dark Night

291 25 10
                                    



Sekelabat bayang itu kembali mencekiknya. Mencekram penuh jantungnya. Menghujam jiwanya bertubi-tubi. Membuat dirinya sungguh lupa cara bernapas.

Peristiwa malam kelam itu kembali berputar. Bau alkohol yang kental kembali menyeruak di indera penciumannya. Nafas memburu pencampuran amarah dan nafsu menerpa wajahnya. Sentuhan demi sentuhan tanpa prikemanusian di setiap jengkal kulitnya. Melingkupinya—merongrongnya dalam kesakitan yang nyata. Sakit fisik dan sakit jiwa.

Minuman laknat itu menggelapkan mata pria itu. Mata yang dulu selalu menatapnya lembut dan penuh kasih.

Minuman bejat itu menghilangkan kontrol tangannya. Tangan yang dulu selalu menggenggam Jihan penuh perlindungan.

Minuman setan itu merusak kerja otaknya—membuat sisi gelap yang tak pernah hadir, tiba-tiba saja menguasainya dengan penuh nafsu dan kebejatan.

Karena kesakit hatian, pria itu berlari ke minuman haram. Ia yang baik tiba-tiba menjadi kesetanan. Iblis tertawa kerena berhasil menjatuhkan si pria pada jurang kenistaan. Mengusai jiwa sang pria untuk menyakiti dan menyakiti seorang wanita yang amat berarti. Wanita yang dulu dilindunginya dengan segenap jiwa, ia hancurkan dalam sekejap mata.

Jihan ketakutan—meminta tolong. Mencoba menyadarkan sang pria akan perbuatannya. Namun minuman haram itu begitu mengusainya—setan yang mengusai. Ia seolah tuli—kupingnya terasa tertutup rapat—tak bisa mendengar suara yang selalu ia simak dengan baik. Hanya bisikan setan yang mampu ia realisasikan.

Sentuhan demi sentuhan itu teramat menyakiti Jihan. Bukan hanya secara fisik, namun secara jiwa sungguh berlipat ganda. Seseorang yang amat ia percaya, kini menyakitinya. Itu lebih sakit rasanya daripada dilecehkan oleh pria hidung belang yang tak mampu memakai otak.

Sontak jiwanya kembali menjerit. Tangannya otomatis bergerak—mencoba menghapus jejak kesakitan itu. Jiwanya sungguh tergoncang—tergoncang karena pria yang ia sayang bertindak bejat. Hatinya sungguh menolak mempercayai apa yang terjadi di malam kelam itu. Bukan hanya karena dilecehkan, pun sebuah rasa pengkhianatan. Ia merasa dikhianati—dirusak kepercayaan yang ia berikan sepenuh hati. Itu jauh membuat dirinya begitu jatuh dan terpuruk begitu dalam.

"I—i—bu", Cinta memanggilya dengan suara bergetar. Ia tahu apa yang sudah terjadi. Jiwa sang bunda pasti sedang terguncang.

"JANGAN MENDEKAT!!!", jeritnya penuh ketakutan.

"Bu, aku Cinta, bu", Cinta berusaha menyadarkan. Jihan selalu lupa akan apapun jika terjadi hal seperti ini. yang ia ingat hanya malam kelam itu.

"BRENGSEK JANGAN MENDEKAT!!!!"

Tiba-tiba mata Jihan berair. Buliran itu melesak membasahi wajahnya. Ia mendesak mundur hingga bersembunyi ke sudut lemari dengan gurat penuh ketakutan.

"Bu...",

Sakit! Itulah yang dirasakan Cinta saat ini. Sungguh pemadangan inilah yang selalu membuat dirinya rapuh. Apapun tak pernah membuatnya begitu terluka selain melihat sang bunda dalam kondisi mengenaskan.

Airmata telah menggenang di pelepuknya. Satu persatu jatuh beriringan dengan setiap napas yang berusaha ia hela, namun seolah tak sanggup untuk masuk ke dalam rongga.

Sesak sekali.

Dadanya seperti dipukul bertubi-tubi.

Terus menghujamnya—mencekatnya—membuatnya begitu sulit untuk bernapas—begitu sesak.

Dirinya sungguh terluka—tersakiti yang teramat sakit. Bukan karena ia merasa hina—bukan pula karena darah kotor yang turut mengalir dalam tubuhnya. Namun karena pesakitan yang bergejolak dalam jiwa sang bunda. Itu lebih sakit dari dirinya yang terlahir dari sebuah pemaksaan semata.

Apa Salah Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang