Bab 4. Mengadu Kepandaian

3K 44 1
                                    

Sembari bernyanyi si pelajar melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baru berhentilah ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sembari bernyanyi si pelajar melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baru berhentilah ia merogoh sakunya.

Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak kepalang.

"Dia cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?" demikian ia berpikir tak habis herannya. "Sungguh kepandaian yang lihay........"

Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. "Jiko, hari ini kau beruntung!" serunya. "Tidak tahu siapa yang apes malang...."

Si mahasiswa melarat itu pun tertawa. "Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk yang kau telah ketahui!" katanya.

"Oh, aku tahu!" sahut si nona. "Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?"

Mahasiswa itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. "Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunai!" katanya. Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak-bahak.

Wanyen Lieh heran bukan kepalang. "Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali, cara bagaimana ia masih mengenali aku?" dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia gapekan pelayan untuk bisiki padanya: "Semua tuan-tuan ini akulah yang undang berjamu..." Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letaki di atas meja. "Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!" katanya pula.

Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. "Saudara-saudara ada orang yang mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!"

Si mahasiswa menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: "Mana si wanita baik-baik yang kau perdayakan?"

Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya tetapi berkerja. Di situ ada sembilan buah meja, sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan rumah?

Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.

Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng: "Amitabha Buddha!" Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng.

"Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!" seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam kawannya: Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk menyambut orang yang baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar.

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang