Bab. 35 - 36

2.4K 34 1
                                    

Bab 35

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bab 35. Main gundu.......

Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang hatinya Kwee Ceng, ia khawatir ia nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu.

Pek Thong menghela napas.

"Mengapa kau dapat memikir demikian?" tanyanya kemudian.

Adik angkat itu menggeleng kepala.

"Aku sendiri tidak tahu," jawabnya. "Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan saja."

"Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," bilang Pek Thong, "Cumalah aku itu waktu tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah membilangi aku bahwa aku berbakat baik dan ulet, tetapi akuüun terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku kekurangan sifat wales asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat prikemanusiaan? Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang daripada aku, maka itu dibelakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar...."

Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong menangis sedih sekali. Ia mendekam di batu.

Kwee Ceng menjadi terharu.

Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya.

"Ah, ceritaku belum berakhir," katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh menangis pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak membujuki aku supaya aku jangan menangis?"

Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa.

"Koko bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," katanya. Pek Thong menepuk pahanya.

"Benar!" ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku minta suko memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadap aku! Maka semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula. Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, atau lebih benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang.

Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping.

"Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa mengenai partainya dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-keng itu," Pek thong melanjuti ceritanya. "Ia pun menitahkan menyalakan api di perapian, ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, ia mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah hasil cape hatinya cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku? Air itu dapat menampung perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku sekaker'. Habis berkata begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum sampai jam tiga, terjadilah onar...."

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang