Bab 18. Mengadu Kepandaian

1.7K 32 1
                                    

Setelah menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk saqmbil menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk saqmbil menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan.

Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut.

"Aneh," pikir Ong Cie It. "Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini? Pada ini mesti ada rahasianya...?" Lantas ia pandang si nona dan menanya: "Nona, siapakah namamu?"

Nona itu menunduki kepalanya. "Namaku Bok Liam Cu," ia menyahut perlahan.

"Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik," kata Cie It, yang terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letaki di atas meja, seraya menambahkan: "Besok aku akan datang untuk menjenguk pula padamu." Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat meninggalkan hotel itu.

Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.

Ong Cie It mengangguk.

"Totiang, kau tunggu sebentar," berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang. Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu ke dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.

Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis. Undakan tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia depan. Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya: "Chao Wang Hu" atau istana pangeran Chao Wang.

Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka itu tanpa merasa, hatinya tercekat.

"Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?" ia kata di dalam hatinya. "Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade...."

Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It, menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang