Bab 70 - 74

3.8K 44 0
                                    

Bab 70. KUMPUL SEMUA

Kwee Ceng berlayar terus menuju ke barat sesudah melalui beberapa puluh lie, mendadak ia mendengar suar burung terbang di atasannya. Ia mengenali sepasang burungnya, yang terbang menyusul padanya. Dengan cepat kedua burung itu menclok di atas layar.

"Burung ini mengikuti aku, Yong-jie berada sendirian di pulau, ia bakal menjadi tambah kesepian," pikirnya, maka timbullah rasa kasihannya.

Di hari ketiga, pemuda ini mendarat. Ia membenci segala benda dari Tho Hoa To, dari itu ia mengangkat jangkar, ia menghajar perahunya, maka tenggelamlah kenderaan air itu. Ia sendiri melompat ke darat sebelum air memenuhi perahu itu, maka ia melihat perahu perahu perlahan-lahan masuk ke dalam air dan lenyap. Ia berjalan tanpa tujuan. Ia mampir di rumah seorang petani dimana ia membeli beras untuk masak nasi guna menangsal perut. Habid dahar, setelah menanya jalanan untuk ke Kee-hin, ia berangkat menuju ke kota itu.

Malam itu pemuda ini bermalam di tepi sungai Cian Tong Kang, ketika ia tengah mengawasi permukaan air, tiba-tiba ia melihat bayangan rembulan. Ia terkejut. Ia memang telah lupa tanggal. Tentu sekali ia khawatir nanti melewati jani pertemuan di Yang Ie Lauw. Lantas ia menanya tuan rumah. Lega sedikit hatinya ketika ia diberitahukan hari itu tanggal tigabelas. Karena ini, malam ini juga ia menyeberangi sungai, terus ia menyewa keledai guna melanjuti perjalanannya. Untuk lega hatinya, ia tiba di kota Kee-hin selewatnya tengah hari. Di sini ia segera menanya orang dimana letaknya Cui Sian Lauw, rumah makan Dewa Mabuk. Itulah rumah makan yang paling berkesan untuknya. Semenjak ia masih kecil, guru-gurunya telah menuturkan kepadanya tentang pertempuran mereka dengan Khu Cie Kee di rumah makan itu. Ia tidak diberitahukan sebab musababnya tetapi ia ketarik dengan caranya bertempuran, mengadu minum arak memakai jambangan perunggu. Kemudian lagi ia ketahui tentang asal-usul dirinya, maka tahulah ia, rumah makan itu ada hubungannya sama kehidupannya. Ketika orang menunjuki dia bahwa rumah makan itu berada di tepi telaga Law Ouw, segera ia pergi ke sana. Setibanya, ia mengangkat kepala, mengawasi rumah makan itu. Ia mendapat cocok apa yang dijelaskan Han Siauw Eng. Setelah sepuluh tahun lebih mengingat- ingat rumah makan itu, baru sekarang ia dapat melihatnya dengan matanya sendiri. Memang rumah makan itu indah dengan lauwtengnya yang berukiran, sedang di tengah-tengah itu ada verdiri sepotong bokpay, atau papan yang bertuliskan empat huruf besar "Tay Pek Ie Hong", artinya peninggalan kebiasaan dari Lie Thay Pek si sastrawan yang dijuluki Dewa Mabuk, sedang nama "Cui Sian Lauw" yang memakai leter emas, ada tulisannya "Souw Tong Po". Bersih dan berkilat tiga huruf emas itu.

Dengan hati berdebaran Kwee Ceng naik dengan tindakan cepat ke atas lauwteng. Segera ia dipapaki seorang pelayan, yang memberitahukan bahwa hari itu sudah ada yang memborong rumah makannya itu. Ia heran, hendak ia meminta keterangan, atas segara ia mendengar panggilan, "Anak Ceng! Kau sudah datang?" Ia lantas mengangkat kepalanya. Ia terkejut akan mengenali orang yang memanggilnya itu, sebab ialah Khu Cie Kee, yang lagi duduk bersila. Ia lari menghampirkan, ia lantas berlutut dengan cuma dapat memanggil, "Khu Totiang-!"

Khu Cie Kee mengasih orang bangun.

"Apakah keenam gurumz juga sudah sampai?" ia tanya. "Aku telah memesan barang santapan untuk kita-." Ia menunjuk ke kanan di mana Kwee Ceng melihat telah disipakan sembilan buah meja yang diperlengkapi dengan sumpit dan cangkirnya. Ia berkata pula, "Ketika delapanbelas tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku bertemu di sini dengan ketujuh gurumu, mereka mengatur meja begini rupa. Ini satu meja kepunyaan Ciauw Bok Taysu, maka sayang ia dan gurumu yang nomor lima sudah tidak dapat berkumpul di sini."

Kelihatannya si imam sangat berduka.

Kwee Ceng berpaling ke arah lain, tidak berani ia mengawasi langsung imam itu.

Khu Cie Kee tidak melihat sikap orang, ia berkata lagi, "Jambangan perunggu yang dulu hari itu kita pakai untuk minum arak, hari ini aku telah mengambilnya dari kuil, maka kalau sebentar semua gurumu datang, kita boleh minum arak pula."

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang