Bab 64 - 65

2.2K 35 0
                                    

Bab 64 ASMARA DI DALAM KERATON

Mendengar suara guru mereka, keempat murid itu tercengang.

Kwee Ceng berlompat seraya berseru, "Aku ingat sekarang! Ketika malam itu Oey Tocu meniup seruling, Ciu Toako tak kuat menahan hatinya, kemudian aku mendengar ia membacakan syairnya itu. Ialah: 'Empat buah perkakas tenun...maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan...sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih...Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin, di dalam tempat tersembunyi, saling berhadapan baju merah...!" 

Ia menepuk paha kanannya, ia berkata pula, "Tidak salah! Ketika itu aku heran sekali. Di dalam segala-gala, Ciu Toako lebih menang daripada aku tetapi selagi aku tidak terganggu serulingnya Oey Ytocu, ia sendiri kelabakan, tak kuat ia mempertahankan diri, tak tahunya ia dapat mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan pikirannya menjadi kacau. Pantaslah ia mencaci orang perempuan! Kau tahu, Yong-jie, dia sampai menasehati aku untuk aku jangan baik dengan kau..."

"Hm, Loo Boan Tong!" kata si nona mendongkol. "Lihat kalau nanti aku bertemu dengannya, akan aku jewer kupingnya!" Mendadak ia tertawa dan menambahkan, "Ketika di Lim-an aku telah menggodai dia, aku telah mengatakan tidak ada wanita yang akan sudi menikah padanya, agaknya dia mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu."

"Ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan itu, aku seperti telah pernah mendengarnya," kata pula Kwee Ceng, "Hanya itu waktu, biar bagaimana aku memikirkannya, tidak juga aku ingat. Eh, Yong-jie, mengapa Eng Kouw pun mengetahui syair itu?"

Ditanya begitu, di nona menghela napas.

"Karena Eng Kouw ialah Kui-hui," sahutnya.

Di antara tukang pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang lainnya menjadi heran, semua mengawasi guru mereka.

"Kau sangat pintar, Nona," kata It Teng dengan perlahan, "Tidak kecewa kau menjadi putrinya saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama kecil, ialah Eng. Aku pun mulanya tidak mengetahui itu. Itu waktu aku setelah melemparkan sapu tangan kepadanya, lantas aku tidak melihat pula padanya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan lagi urusan negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat."

"Supee, itu waktu di dalam hatimu kau sangat mencintai dia," kata Oey Yong. "Kau tapinya tidak mengetahui. Kalau tidak, tidak nanti kau menjadi tidak gembira..."

"Nona," berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru mereka.

"Apa? Apakah aku salah omong?" Oey Yong balik menanya. "Supee, salahkah aku?"

Air mukanya It Teng Taysu suram. Ia berkata, "Selama itu lebih dari setengah tahun tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang menghadap, tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian pada suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku, aku mengambil keputusan untuk melihat padanya. Aku tidak memberitahukan niatku pada thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam. Aku ingin menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di wuwungan kamarnya, aku mendengar suara anak kecil menangis keluar dari kamarnya itu. Ah...! Malam itu es turun banyak dan angin pun dingin sekali, tetapi di atas genting itu aku berdiri lama sekali, sampai fajar, barulah aku kembali ke kamarku. Habis itu aku mendapat sakit berat."

Oey Yong heran. Seorang raja, dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah mesti menyiksa diri secara begitu.

Sekarang barulah keempat murid itu ketahui kenapa guru mereka – ketika itu ialah junjungan mereka – yang tubuhnya demikian tangguh, telah mendapat sakit yang berat begitu.

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang