Bab 43. Melawan batu besar
Walaupun ia telah berkeputusan demikian, Auwyang Kongcu tidak segera turun tangan untuk mewujudkan itu. Ia masih sangat lelah maka ia beristirahat terus. Ia menjalankan napasnya, untuk meluruskan pernapasannya.
Sesudah berselang lama, baru ia berbangkit bangun, akan mencari sebatang pohon yang kuat, yang ia patahkan, untuk dipakai sebagai senjata, untuk menotok jalan darah. Tiba di dekat gua, ia bertindak dengan hati-hati. Biar bagaimana, ia masih jeri terhadap pengemis tua itu. Di mulut gua ia memasang kupingnya. Ia tidak dapat mendengar suara apa juga. Ia masih menanti beberapa saat, baru ia bertindak masuk. Tidak berani ia masuk langsung, ia mepet-mepet di pinggiran, majunya setindak demi setindak. Sekarang ia bisa melihat Pak Kay lagi duduk bersila menghadap matahari, orang tua itu lagi berlatih dengan ilmu dalamnya, dilihat dari air mukanya yang segar, ia seperti tidak tengah menderita luka parah.
"Baiklah aku mencoba dulu, untuk mengetahui dia dapat berjalan atau tidak," berpikir si anak muda, yang sangat berhati-hati. Setelah diperdayakan Oey Yong, ia menjadi semakin cerdik.
"Paman Ang!" ia berseru. "Celaka! celaka...!"
Ang Cit Kong dapat mendengar teriakan itu, ia sudah lantas membuka matanya.
"Ada apa?" ia menanya.
"Adik Oey mengejar kelinci, dia terjatuh ke dalam jurang...!" ia menyahut, suaranya dibikin tak lancar. "Dia terluka parah, sampai ia tak dapat bangun!"
Nampaknya Ang Cit Kong kaget.
"Lekas tolongi dia!" dia berseru.
Mendengar perkataan orang itu, girangnya Auwyang Kongcu bukan kepalang. Ia mengerti, kalau bukannya pengemis tua itu tidak dapat berjalan, mestinya ia sendiri sudah berlompat bangun dan berlari pergi, guna menolong nona itu. Maka ia bertindak maju di mulut gua seraya sembari tertawa lebar ia berkata: "Dia telah menggunakan seribu satu akal untuk mencelakai aku, mana sudi aku menolongi dia? Pergi kau sendiri yang menolonginya?!"
Ang Cit Kong terperanjat. Kata-katanya si anak muda dan sikapnya itu menandakan bahwa orang tak jeri lagi kepadanya.
"Rupanya ia telah mendapat ketahui kepandaianku sudah musnah," pikirnya. "Inilah tandanya telah habis lelakon hidupku...!"
Tapi Pak Kay tidak hendak menyerah dengan begitu saja, maka ia bersiap sedia untuk mati bersama. Diam-diam ia mencoba mengumpul tenaganya di tangan, untuk menghajar dengan sekali pukul. Kesudahannya ia kaget sekali. Begitu bertenaga, ia merasakan luka si punggungnya sakit, semua tulang-tulangnya seperti hendak buyar belarakan. Sementara itu ia melihat mendatangi sambil memperlihatkan muka menyeringai. Tanpa merasa ia menghela napas panjang, lantas ia meramkan kedua matanya untuk menantikan kebinasaannya....
Ketika itu Oey Yong di dalam air telah berpikir, menduga bahwa selanjutnya makin sukar melayani Auwyang Kongcu, yang mestinya jadi semakin licin. Ia selulup beberapa tombak jauhnya, baru ia muncul di muka air. Ketika ia melihat daratan, itulah bukan tempat dimana tadi ia telah bergulat sama Auwyang Kongcu. Di sini pepohonannya lebih lebat. Tiba-tiba saja ia dapat ingat pulaunya sendiri, maka ia berpikir: "Alangkah baiknya kalau aku dapat cari suatu tempat bersembunyi, untuk aku berdiam bersama suhu sambil merawati suhu, tentulah si bangsat tidak gampang-gampang dapat mencari kita..."
Habis berpikir, si nona mendarat. Ia tidak berani lantas jalan begitu saja, ia berjalan di sepanjang tepian. Ia khawatir nanti ketemu sama keponakannya Auwyang Hong itu.
"Coba dulu aku tidak terlalu gemar memain dan aku pelajari ilmu Kie-bun Ngo-heng, sekarang tentulah dapat aku melayani bangsat itu," pikirnya pula. Ia seperti ngelamun. "Ah, sayang ayah telah menyerahkan peta Tho Hoa To kepadanya! Jahanam itu sangat cerdas, tentulah ia pun dapat memahamkan peta itu...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )
FantasyAwal dari Trilogi Pendekar Rajawali karya Chin Yung Kisahnya dimulai ketika dua pahlawan, Yang Tie Xin (Yo Tiat Sim) dan Guo Xiao Tian (Kwee Siauw Thian) yang setia pada Dinasti Song ternyata dibunuh oleh pasukan negaranya sendiri atas bujukan bangs...