Bab 56 - 58

2.4K 37 0
                                    

Bab 56. Kejadian di lauwteng Gak Yang Lauw

Begitu lekas korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran katak itu, maka di dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok hijau itu memanglah makanan mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat saking takutnya.

Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.
Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang berpakaian hitam itu, maju ke depan orang-orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya: "Camat telah memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsannya adalah adat kebiasaannya, maka itu, selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa kamu membikin banyak berisik?!"

Orang-orang tani itu berteriak-teriak: "Kodok besar itu serta ular berbisa ini adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu! Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati kelaparan, mari semua mengadu jiwa!"

Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju mendekati.

"Kamu mau apa?" tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. "Apakah kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau berontak?!"

Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan batu.

Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di antara mereka muncul dua orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan, siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!

Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa diantaranya kata: "Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda dan berjalan kaki."

Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk ke dalam korang.

"Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?" Kwee Ceng berbisik.

"Coba tunggu sebentar lagi," menyahut sang nona.

Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka menggunai batu menimpuki rombangan ular itu, hingga ada beberapa ular yang lantas mati.

Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka, beberapa diantaranya maju untuk menyerang nocah-bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur.

Bocah yang roboh itu kena dicekuk.

"Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!" katanya bengis. "Kau mesti dikasih rasa!"

Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan.

"Tolong tuan, tolong," ia memohon, "Tolong lepaskan anakku ini..."

Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara.

Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia melemparnya balik hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.

Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada orang tua dan wanita. Mereka lebii takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk membacok, lekas-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang