Bab 19. Ada Kuping Di Balik Tembok

1.8K 37 1
                                    

Kwee Ceng tak berkata apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya, lanats ia berlalu dari hotel. Ia lari keluar kota barat tanpa menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya. Disekitarnya yang luas, ia tampak segala apa putih meletak, disana tidak ada tapak-tapak manusia. Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku, salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di pepohonan, salju melulu yang tampak.

Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang sekalipun.

"Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?" ia berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: "Oey Hiantee! Oey Hiantee!"

Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.

"Oey Hiantee! Oey Hiantee!" ia memanggil pula, dengan hatinya masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; "Mungkin ia belum datang, maka baiklah aku menunggu ia disini..."

Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.

Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari bagian telaga yang lebat dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus, rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu bercahaya di antara sinar putih dari salju.

Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan bidadari. Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia pun bertindak dari tepian.

Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. "Kwee Koko, mari naik ke perahu!" tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya "Kwee Koko" = "Engko Kwee".

Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan. Begitu ia menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang tangan baju orang memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya dengan kedua tangannya.

"Bagaimana, eh, engko Kwee," berkata pula si nona. "Apakah kau tidak kenal aku?"

Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semati........ !

Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian compang-camping.... Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari?

Dalam kesangsiannya, bocah ini melihat dengan terbelalak.

Nona itu tertawa. "Aku adalah Oey Hianteemu!" ia berkata. "Benarkah kau telah tidak kenali aku?"

Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. "Kau...kau...." katanya perlahan.

Oey Yong tertawa pula. "Sebenarnya aku adalah seorang wanita," ia berkata pula. "Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!"

Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu. "Oey Hiantee...!" katanya.

Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak.

"Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?" katanya merdu.

Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. "Ah...aku tolol sekali!" katanya kemudian. "Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria! Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee...."

Pendekar Pemanah Rajawali ( Sia Tiauw Eng Hiong )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang