20. Panglima pasukan hitam

109 11 3
                                    

Udara dingin terasa menusuk dan membekukan setiap cairan yang berada dalam tubuh Callysta. Tempat ini gelap dan berkabut, ini tidak seperti apa yang biasa ia lihat. Di sini terlalu sunyi, terlalu mencekam.

Seketika bulu kuduknya berdiri membuat gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Ia merasa pernah berada di tempat ini sebelumnya, tapi Callysta tidak ingat kapan hal itu terjadi. Sekarang rasa dingin dan ketakutan yang mencekam membuat otaknya tak dapat bekerja dengan baik. Ia hanya berharap jika dirinya bisa menemukan cahaya untuk membantunya menemukan jalan keluar.

"Tolong..." teriaknya. "Apa ada orang di sini?"

Suaranya menggema di kedalaman hutan. Tidak ada siapapun di sini, bahkan hewan pun tidak sudi untuk tinggal. Ada sesuatu yang salah, tapi entah apa.

"Tolong..." teriaknya sekali lagi. Masih tidak ada jawaban.

Callysta...

Callysta mengangkat wajahnya dan mencari ke sekeliling. Itu suara Fulbert. Callysta harus mencarinya.

Callysta mulai berlari tanpa tau tujuan. Tidak ada matahari maka tidak ada mata angin. Suara Fulbert hanya menyentuh bagian dalam dirinya. Callysta tidak sadar dengan hal itu, ia hanya terus berlari dan mencari.

"Fulbert..." panggilnya. Namun, suara itu menghilang dengan cepat. Callysta tidak dapat menemukan arah, ia tersesat.

Callysta...

Suara itu terdengar lagi..

Callysta bangunlah! Ujar suara tersebut.

Bangun? Apakah dirinya sedang bermimpi sekarang? Lalu sebuah kegelapan menelannya hingga ia melihat seberkas cahaya silau yang membakar matanya.

"Callysta!" panggil Fulbert sambil menggoyangkan tubuh Callysta. "Kau tidak apa-apa?"

Callysta membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah Fulbert yang menatapnya dengan pandangan khawatir. Ia terlihat lega saat melihat Callysta membuka matanya.

Callysta mengerjapkan matanya beberapa kali. "Ada apa?" ucap Callysta linglung. Ia langsung melihat ke sekelilingnya, aman. Callysta masih berada di tempat ini, tempat saat dimana ia dan Fulbert melihat Kalena dan Emery dibawa oleh gerombolan Ogre.

Fulbert menghembuskan nafasnya lega. "Kau tidur seperti orang yang sedang kejang."

Callysta menatap Fulbert bingung. "Apa maksudmu?"

Fulbert menatap Callysta sebal karena telah membuatnya khawatir. "Ya. Kau tidur seperti orang kesurupan. Mulutmu memang terkunci, tapi tubuhmu tidak bisa berhenti bergerak. Aku kira...." Fulbert tidak melanjutkan perkataannya.

Callysta menaikkan salah satu alisnya. "Kau kira aku akan mati, begitu?"

Fulbert mengusap tengkuknya. "Maaf, aku hanya khawatir padamu. Aku ingat saat kau tidak sengaja jatuh ke dalam sungai, kau kehilangan kendali dan kesakitan. Jika saja aku tidak di sana entah apa yang terjadi."

Pandangan Callysta melembut. "Tenang saja. Aku tidak akan mati selama kau ingat janjimu."

Fulbert kembali menatap Callysta dengan tajam. "Apa kau benar-benar akan mati jika aku melanggar kesepakatan itu?"

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" suara Emery sukses mengalihkan perhatian Fulbert dan Callysta. Di sampingnya ada Kalena. "Sepertinya serius sekali."

"Kalian sudah datang," ucap Fulbert sedikit salah tingkah mengingat dirinya tadi sangat dengan Callysta.

"Kalian dari mana?" tanya Callysta baru menyadari jika mereka sekarang sudah bukan lagi berdua tapi berempat.

History of Florean : The Return Of The King MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang