17. Rencana

135 12 0
                                    

Gelap. Hal pertama yang Callysta lihat saat mendekati ruangan ini. Fulbert bilang jika ini adalah ruangan khusus yang dibuat untuk menyimpan berbagai hal yang berkaitan dengan perang melawan kegelapan. Perang pertama antara manusia, illyad, dan elf melawan Zoikatras.

Setelah mereka membersihkan diri dan makan akhirnya mereka memutuskan untuk segera membicarakan tentang langkah apa yang akan mereka ambil selanjutnya. Di sinilah mereka sekarang, di tengah sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan dingin.

"Apa tidak seharusnya kita menyalakan lampu?" tanya Fulbert teringat saat ia memasuki tempat ini sebelumnya.

"Tidak perlu." Ervanthe berjalan menuju sisi ruangan, di sana terdapat sebuah benda bundar seperti alat untuk mengendalikan perahu. Ia berusaha untuk memutarnya.

"Sepertinya macet, bisa kau bantu aku," katanya pada Fulbert. "Sudah lama aku tidak membukanya."

Fulbert akhirnya membantu Ervanthe untuk memutar alat tersebut. Lalu, perlahan atap yang berada di atas kepala Callysta terbuka memberinya sentuhan cahaya bulan. Ia menatap ke atas, ke tempat dimana cahaya bulan itu masuk dan menyentuh kegelapan. Ia kembali merasakan jika bulan tengah memanggilnya, merayunya dengan kelembutan.

Callysta tersenyum. Ia merasa sempurna, ia merasa telah menemukan jalan hidupnya. Kembali menjadi bebas adalah takdirnya. Ia telah menjadi Callysta yang seutuhnya.

"Callysta."

Callysta mendengar Fulbert menyebut namanya. Ia menoleh dan menatap Fulbert dan Ervanthe yang telah menatapnya dengan pandangan takjub.

"Kenapa?" tanya Callysta bingung. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?"

"Lihatlah dirimu," jawab Fulbert masih dengan pandangan terpesonanya.

Callysta mengalihkan pandangannya dan melihat kedua tangannya. Tangannya bercahaya. Mata Callysta membelalak kaget.

"Apa ini?" pekik Callysta memeriksa seluruh bagian tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"

"Tenanglah! Tidak terjadi apapun padamu. Sebaliknya, ini adalah hal yang baik," ucap Ervanthe terlihat sama terpesonanya dengan Fulbert.
Ada ekspresi puas dalam matanya.

"Apa maksudmu?" tanya Callysta.

"Ini adalah restu. Restu dari Puteri Azexton untukmu," Ucap Ervanthe.

"Bisa kau jelaskan?" tanya Fulbert.

Ervanthe menoleh pada Fulbert. "Sama seperti dirimu, inilah tandanya. Tidak semua tanda harus terlihat seperti yang kau miliki pada lenganmu. Tanda yang diberikan oleh para penguasa alam bisa saja sesuatu yang tidak terlihat setiap waktu. Tanda yang hanya akan terlihat saat mereka memang mengizinkannya."

"Jadi menurutmu aku membawa orang yang tepat?"

"Yeah, dialah orangnya."

"Aku tidak percaya," gumamnya.

Perlahan cahaya dalam tubuh Callysta memudar. Cahaya itu tidak lagi terfokus pada satu tempat saja, sekarang cahaya itu telah menerangi seluruh sudut ruangan. Ruangan itu sekarang berpendar redup.

"Apa yang kau rasakan?" bisik Fulbert pada Callysta yang telah berada di sampingnya.

"Sangat baik," jawabnya singkat membuat mereka berdua tersenyum.

Mereka sekarang tengah mengamati lukisan-lukisan yang terpajang di dinding ruangan. Lukisan yang sama yang pernah diperlihatkan kepada Fulbert sebelumnya.

"Dari mana kau mendapatkan semua ini?" tanya Callysta sambil memperhatikan sebuah lukisan yang bertanda Raja Synthos, Irayelf.

"Leluhurku adalah Almirenza, saudari dari Raja Dynelios," kata Ervanthe yang membuat Fulbert melihat ke arahnya. "Ia ingin mengabadikan sejarah yang telah terjadi pada hari-hari itu, hari-hari gelap yang telah merenggut banyak hal darinya. Ia ingin semua orang mengenal pahlawan mereka dan memperingatkan mereka jika suatu saat kita harus menghadapi situasi yang sama. Karena itulah ia membuat semua ini. Kami menjaganya secara turun temurun."

"Jadi kita masih punya hubungan kekerabatan?" tanya Fulbert. "Kenapa aku baru tahu?"

"Itu karena kami lebih memilih untuk tidak menjadi bagian dari istana. Meskipun adikku tetap bertahan di sana," ujarnya.

"Kenapa kau membawa kami ke tempat ini?" tanya Callysta.

Ervanthe menatapnya sekilas. "Karena tempat ini adalah tempat yang paling aman untuk membicarakan sesuatu. Kita harus menyusun rencana."

"Baiklah. Kita memang perlu membicarakan hal ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku telah membawa Callysta ke sini dan apa selanjutnya?" tanya Fulbert.

Ervanthe menghela nafas, matanya diturunkan sebentar dan kembali menatap Fulbert. "Aku juga masih belum yakin dengan apa yang harus kita lakukan setelah ini. Mungkin kita memang harus bertanya?"

"Apa yang kau maksud dengan tidak yakin?" tanya Fulbert merasakan gejolak emosi yang meningkat. "Aku telah membuat Callysta datang ke tempat ini yang seharusnya tidak ia datangi."

"Tenanglah!" Callysta memperingatkan Fulbert.

"Jujur, sejauh ini aku hanya yakin jika kekuatan manusia dan Illyad bersatu maka peluang kita untuk bisa mengalahkan Zoikatras akan semakin besar. Dan untuk rencana selanjutnya kita harus bertanya," ucap Ervanthe.

"Kepada siapa kita harus bertanya?" tanya Callysta.

"Mereka yang telah ditunjuk sebagai pemegang kunci, yang masih bertahan hingga saat ini. Klan Elf Utara."

"Bukankah semua elf telah pergi?" tanya Fulbert bingung.

"Tidak. Tidak semuanya. Ada satu klan elf yang masih bertahan di sini. Mereka yang telah diberi tanggung jawab untuk memegang kunci kehancuran Zoikatras."

"Aku pernah mendengarnya. Klan elf Utara atau elfanorth telah disumpah karena penghianatan yang telah mereka lakukan untuk tetap berada di Florean hingga tugas yang mereka tanggung selesai. Sampai kapan mereka akan di sini, tidak ada yang tahu. Selain itu mereka juga satu-satunya klan elf yang tidak memiliki keturunan Illyad," terang Callysta.

"Benar. Inilah saatnya bagi mereka untuk memenuhi tugas mereka," kata Ervanthe.

Fulbert mengangguk mengerti. "Baiklah. Dimana mereka tinggal?"

Callysta memandang Fulbert jengkel. "Tentu saja di utara," ucapnya.

"Oh, benar."

"Kita akan mempersiapkan segalanya untuk kalian," kata Ervanthe. "Lebih cepat hal ini selesai maka akan lebih baik. Besok mungkin adalah waktu yang tepat."

Callysta setuju dengan perkataan Ervanthe. Dia harus memastikan jika dirinya dapat bertahan selama misi belum selesai. "Ada baiknya misi ini selesai sebelum bulan purnama."

"Kenapa?" tanya Fulbert penasaran.

Callysta hanya menggeleng lemah dan menatap Fulbert. "Karena aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di sini."

"Itu artinya kita harus menyelesaikan misi ini setidaknya dalam waktu sepuluh hari dari sekarang," ucap Ervanthe tenang sambil menatap cahaya bulan melalui celah-celah kaca di atasnya.

'Hanya sepuluh hari. Ijinkan aku untuk bertahan.' batin Callysta.

Fulbert yang melihat perubahan ekspresi Callysta pun mencoba menenangkannya dengan menggenggam tangannya. "Tidak apa-apa. Kita akan melewatinya."

Saat tangan mereka bersentuhan, sesuatu yang menggantung di leher mereka berdua berpendar redup. Sangat redup hingga tidak ada yang menyadarinya.

Mendapat sentuhan dari Fulbert membuat Callysta merasakan energinya kembali meningkat. Kehangatan yang ia rasakan pada tangannya terasa menjalar ke seluruh tubuh. Semua ini benar. Fulbert adalah hidupnya dan ia pula kematiannya. Callysta tau saat Fulbert melepaskan tangannya maka rasa sakit itu akan segera datang dan membakarnya hingga menjadi seonggok abu tak berharga. Abu yang akan hilang terbawa air hujan dan hembusan angin.

History of Florean : The Return Of The King MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang