22. Fulbert dan Kalena

116 11 3
                                    

Memasuki hutan saat hari mulai gelap bukanlah sesuatu yang baik. Sesuatu yang senang dengan kegelapan mungkin saja sedang mengincar mereka saat ini. Namun tidak ada pilihan lain, mereka memilih bermalam di hutan karena tidak tau seberapa luas hutan itu sehingga mereka bisa mencapai bukaan.

"Kalian istirahatlah! Biar aku yang mengambil tugas jaga pertama," ujar Fulbert. "Kau juga, Callysta. Jangan terlalu memaksakan dirimu. Istirahatlah."

"Biar aku dan Dyn yang berjaga pertama," timpal Kalena. "Setelah ini, kau dan Emery bisa menggantikan kami."

Callysta menatap Fulbert sekilas. "Baiklah. Aku rasa aku memang butuh waktu untuk beristirahat," ucapnya lansung membaringkan tubuh di tanah. Ia menjadikan tangannya sebagai bantal dan memejamkan mata.

"Aku juga. Bangunkan aku jika kalian membutuhkan sesuatu," ujar Emery langsung membaringkan tubuhya di sekitar akar pohon.

Malam ini tidak ada api unggun, mereka tidak berani mengambil resiko bahwa kehadiran mereka akan lebih mudah untuk diketahui. Hanya sedikit cahaya bulan yang melesak masuk di antara  yang menjadi penerangan mereka malam ini.

Callysta jatuh tertidur lebih cepat dari yang diperkirakan. Ternyata tubuhnya sudah tidak bisa lagi berbohong bahwa ia baik-baik saja. Perjalanan ini menguras tenaga, hati dan pikiran. Terlebih dengan rasa sakit itu yang mulai sering datang menghampirinya. Ia bisa merasakannya, halangan itu tidak bisa dihindari. Darahnya mungkin saja akan segera terlupakan.

Dengan semua pemikiran itu Callysta jatuh tertidur.

*****

Fulbert duduk bersandar pada sebuah pohon. Disampingnya Kalena sedang sibuk memainkan daun yang jatuh, entah apa yang membuatnya begitu tertarik dengan daun itu. Fulbert sedikit merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

Sudah lama sejak ia dan Kalena dapat berbicara berdua tanpa perasaan canggung. Kecanggungan yang ia dapatkan setelah percakapan mereka yang terakhir. Saat Kalena menyampaikan perasaannya pada Fulbert.

Saat itu Fulbert dan Kalena tengah berjalan-jalan bersama sambil menikmati suasana sore hari. Emery yang biasanya ikut membayangi mereka entah kemana menghilang begitu saja. Hingga tinggal Kalena dan Fulbert.

Mereka berkuda menaiki perbukitan yang biasa mereka datangi untuk melihat matahari tenggelam. Tempat yang baik untuk bisa menyendiri dan mengasingkan diri dari kehidupan istana. Karena hanya di sanalah Fulbert bisa menjadi orang biasa, bukan pangeran yang dihormati setiap orang. Ia bisa membuka topengnya sebagai seorang pangeran. Hanya bersama Emery dan Kalena, Fulbert bisa menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Tanpa harus berpura-pura menjadi siapapun.

Perjalanan itu berjalan seperti biasa. Canda dan tawa menghiasi perjalanan mereka. Hingga mereka sampai dia atas bukit, Fulbert dan Kalena turun dari kuda mereka. Kemudian, berjalan mendekati tebing yang terbentang luas dihadapan mereka. Keindahan itu menenangkan. Apalagi bersamaan dengan warna jingga cahaya matahari yang akan segera tenggelam.

Kalena membiarkan rambutnya berkibar halus saat terpaan angin membelainya. Sore itu begitu mempesona, suasana romantis itu sangat sulit untuk ia tolak. Gejolak perasaan ini telah ia rasakan sajak lama. Namun ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengatakannya langsung pada Fulbert. Lelaki itu praktis hanya menganggap hubungan mereka sebagai hubungan pertemanan. Bagaimana jika perasaannya ini hanya akan membuat hubungan pertemanan mereka merenggang?

Kalena terus berdebat dengan keinginannya. Apa ini sudah saatnya?

Sekilas, Kalena menatap Fulbert yang tengah menatap matahari tenggelam di cakrawala. Wajahnya terlihat lelah, namun sebuah senyuman masih membekas di sana. Keindahan itu telah memenangkan hatinya.

History of Florean : The Return Of The King MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang