41. Malam Keberkahan

85 9 0
                                    

Suara dentingan pedang yang beradu membahana di tengah hening malam. Dengan bantuan cahaya bulan mereka masih berjuang untuk menyelesaikan tugas yang mereka emban. Peluh dan darah mulai menetes namun itu sama sekali bukan tantangan terbesarnya.

Fulbert mengayunkan pedangnya untuk menahan serangan dari Zackrash sementara Callysta dan yang lainnya bertarung dengan lawan masing-masing. Callysta berhasil menemukan pedang untuk dirinya yang ia ambil dari salah satu prajurit bawahan yang menjaga pintu bawah tanah dari penjara yang mengurungnya.

Kalena yang memiliki pengalaman bertarung lebih sedikit dari mereka akhirnya mendapat sedikit bantuan dari Callysta. Dengan sihirnya ia berusaha melindungi Kalena semampunya. Hal itu juga beresiko karena jika sesuatu terjadi pada dirinya maka sihir itu juga akan menghilang.

Selama pertarungan, pikiran Callysta tidak pernah lepas dari batu permata yang menjadi harapan mereka. Zoikatras memang berhasil dihentikan sebelum permata itu hancur sepenuhnya tapi bukan berarti itu menghentikan proses kehancurannya. Proses itu masih berlanjut meskipun dengan waktu yang lebih lambat. Selain itu, Callysta juga tahu jika Ralley mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi untuk melawan Zoikatras, terlebih dengan fakta jika sebenarnya ia adalah anaknya.

Callysta berusaha menghindari serangan dari panglima hitam tersebut dengan berguling. Ia dorong bebatuan yang berada di dekatnya dan membuatnya terjatuh menghatam panglima tersebut. Kalena sungguh merindukan panahnya tapi ia tidak bisa menggunakannya sekarang. Ini adalah pertarungan jarak dekat dan ia bertekad untuk mengalahkan mereka dengan berdiri di hadapannya. Bukan menusuk dari belakang.

Callysta kembali menggunakan pedangnya. Pedang ini agak terlalu berat dan tidak seimbang di tangan Callysta. Ini membuatnya tidak maksimal dalam menggunakannya. Pedang yang biasa ia gunakan berada nun jauh di Lonaria sekarang. Entah sebuah kebodohan atau bukan ia malah meninggalkannya di sana dan menganggap ia akan cukup bertahan hidup hanya dengan membawa panah saja.

Sihir hitam tidak bisa digunakan secara maksimal di sini. Oleh karena itu, Callysta menggunakan kemampuan sihirnya untuk melawan panglima hitam tersebut. Pedang di tangannya jadi bersinar cukup terang akibat sihirnya Callysta melancarkan segenap kemampuannya untuk menyerang lawannya tersebut.

Tangannya terluka dan Callysta tersungkur di tanah. Untuk sesaat cahaya itu memudar. Mengira jika dirinya sudah menang, panglima hitam itu menurunkan tingkat kewaspadaannya dan merendahkan badannya di hadapan Callysta.

"Untuk apa kau berjuang untuk sesuatu yang tidak mungkin seperti ini. Bukankah mengabdi jauh lebih baik daripada melawan? Setidaknya kau akan mendapatkan kesempatan untuk hidup," ucap orang itu. Ia menyentuh wajah Callysta dengan gerakan lambat. "Cantik. Andai saja kau bukan wanita pemberontak yang harus aku bunuh, mungkin aku bisa menyelamatkan dirimu. Tapi sayang aku harus menghabisimu."

Callysta memandangya dengan jijik. "Aku tidak akan pernah sudi. Lebih baik aku mati daripada hidup dengan belas kasihan dari kalian atau..."

"Atau apa?"

Callysta menyeringai. "Atau aku yang akan membunuhmu."

Kedua mata orang itu membuka lebar, tubuhnya menjadi kaku dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah. Callysta menarik pedangnya yang masih tertancap dalam perut orang yang baru saja ia bunuh tersebut. Ini adalah kali pertama ia membunuh dan rasanya sungguh tak terkira. Berkali-kali ia mengatakan pada dirinya sendiri jika orang itu memang pantas untuk mati.

Callysta melihat Fulbert yang sedang berjuang melawan Zackrash. Di atas bukit sana ia juga masih melihat Ralley yang sudah sangat kewalahan melawan Zoikatras. Dan permata itu mungkin sudak bisa bertahan lebih lama lagi.

Tanpa berpikir lagi ia berlari untuk mencapai Fulbert. Fulbert sudah mulai tersudut dengan serangan bertubi-tubi yang diberikan oleh Zackrash. Pada saat-saat terakhirlah Callysta berhasil sampai di sana. Callysta berhasip menusukan pedangnya pada punggung Zackrash hingga menembus perutnya saat azorul-pedang terkutuknya-terangkat tinggi untuk mengakhiri hidup Fulbert. Fulbert terlihat lega saat melihat Callysta.

History of Florean : The Return Of The King MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang