10. Paviliun Aldenius

155 19 0
                                    

Callysta membuka surat yang dibawa oleh Otta dan segera membaca isinya.

'kita harus bertemu. Temui aku di perbatasan sore nanti---Fulbert.'

Callysta mengangkat wajahnya dan melipat surat itu. Ini adalah kesempatannya, mungkin ini adalah jawaban akan perasaan bimbang yang selama ini ia rasakan. Dia harus berani.

Callysta membalikkan badannya dan berkata, "Aku sudah memutuskan."

Griselda menatap Callysta dengan perasaan takjub. Ia tau Callysta punya keberanian yang besar dalam menghadapi hal ini. Ia percaya sepenuhnya pada Callysta dan akan selalu mendukungnya dalam hal apapun. Apapun yang diinginkan oleh Callysta dan yang menurutnya adalah benar.

Griselda diam, menunggu Callysta menyelesaikan kalimatnya.

"Aku akan melakukannya," ucap Callysta tegas.

Griselda tersenyum. "Aku akan selalu mendukungmu tuan puteri."

Callysta menggenggam kertas itu kuat. "Aku harus menemui guru. Aku perlu banyak informasi."

"Baiklah."

Callysta segera pergi dari tempat itu dan berlari menuju tempat gurunya. Paviliun gurunya berada di belakang istana dan berada di seberang taman. Paviliun itu berwarna putih dan tidak terlalu besar. Bagian pintunya menonjol ke luar dan di beberapa jendelanya dirambati oleh tumbuhan yang menghasilkan bunga-bunga yang indah.

Callysta mengetuk pintu itu. Terdengar suara langkah kaki dari dalam dan pintu terbuka menampilkan lelaki tua berambut panjang yang semuanya telah sempurna berwarna putih.

"Puteri, masuklah!" Aldenius mempersilakan Callysta untuk masuk.
Callysta masuk ke dalam paviliun itu dan menunggu Aldenius di dalam.

"Ada apa tuan puteri? Tidak biasanya kau datang ke sini. Pasti ada sesuatu yang ingin kau sampaikan," tanya Aldenius.

Callysta duduk di salah satu kursi setelah Aldenius mempersilakannya. "Guru, aku ingin tau lebih banyak tentang hal yang kau katakan padaku tadi malam. Apa saja yang harus aku lakukan?"

Aldenius memperhatikan Callysta. "Apa kau sudah memutuskan tuan puteri?"

Callysta mengangguk. "Fulbert menghubungiku tadi. Dia ingin kami bertemu dan menurutku ini adalah kesempatan yang baik jika aku memang bermaksud untuk keluar dari Lonaria. Mungkin aku bisa meyakinkannya agar mau membantuku," ucap Callysta

Aldenius diam, menunggu. Callysta ingat jika ia belum pernah memberitahukan pertemuannya dengan Fulbert kepada siapapun kecuali Griselda. Meskipun ia tau jika Aldenius pasti telah mengetahui isi hatinya sejak lama.

"E, Fulbert adalah pangeran dari Vozelon. Aku bertemu dengannya saat pergi berburu. Dan.... Aku rasa aku sudah terikat padanya," tambah Callysta dengan suara pelan.

Aldenius mengangguk mengerti. "Aku sudah menduganya. Tapi tuan puteri, kau tau bukan apa resikonya jika kau melakukan hal tersebut?"

"Aku tau," jawab Callysta yakin. "Tidak ada jalan untuk kembali kecuali satu hal."

"Yah, kau harus mendapatkan sendiri penawarnya. Darah yang akan kau minum nanti bisa menjadi obat agar kau dapat bertahan di luar sana. Namun, selain itu dia juga akan menjadi racun tanpa penawar. Kau harus sangat berhati-hati. Kesalahan sedikit saja akan membuatmu kehilangan nyawa," Aldenius memperingatkan.

"Benar. Karena itu aku membutuhkan guru. Aku harus tau apa saja yang akan terjadi padaku nanti," ucap Callysta.

Aldenius menarik nafas dalam. "Banyak hal yang akan terjadi. Kau mungkin akan merasakan sakit yang sangat, tapi kau tidak akan mati. Daya hidupmu akan semakin melemah seiring berjalannya waktu. Dan..."

"Dan?"

"Dan jika kau tidak bisa menata perasaanmu maka rasa sakit itu akan lebih sering datang daripada seharusnya," kata Aldenius.

Sekarang Callysta mulai merasa khawatir. Emosi, hal yang paling sulit ia tanggung.

"Apa tidak ada lagi?" tanya Callysta mencoba untuk tetap tenang.

"Selebihnya kau akan mengetahuinya sendiri nanti," jawab Aldenius. "Hanya satu yang harus kau benar-benar ingat dan berbahaya untukmu. Jangan biarkan Fulbert melupakan darah yang ada pada dirimu. Jika itu terjadi maka kau tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi."

"Dan ada satu hal lagi yang harus kau lakukan," lanjut Aldenius. "Selain kau harus meminum darah manusia, manusia itu juga harus rela untuk meminum darahmu."

Callysta memandang Aldenius terkejut. "Jadi bukan hanya aku saja yang meminumnya? Fulbert juga harus meminum darahku?"

"Benar," kata Aldenius. "Hanya dengan cara itu kalian berdua bisa berada dalam satu ikatan."

Callysta diam untuk berpikir. Akhir-akhir ini jantungnya sering sekali bekerja dua kali lebih keras daripada biasanya. Ia hanya berharap semoga saja ia tidak terkena serangan jantung sebelum pergi dari Lonaria

"Aku mengerti," kata Callysta akhirnya. "Aku akan melakukannya guru. Hanya itu satu-satunya harapan kita."

"Aku suka dengan semangatmu," ucap Aldenius bangga yang mampu membesarkan hati Callysta.

"Tapi bagaimana jika aku gagal?" tanya Callysta mulai merasa khawatir. "Bagaimana jika ternyata aku tidak mampu melakukannya?"

"Kuatlah, maka kau akan mampu untuk menghadapi apapun," kata Aldenius. "Jangan lihat rasa sakitnya. Sudah cukup kau merasakannya dan sekarang jangan terlalu lama untuk memandangnya. Dan kami akan selalu menjadi kekuatanmu tuan puteri. Hatimu yang akan bertahan. Jika kau mau, aku akan memberitahukan sesuatu padamu."

"Apa?" Tanya Callysta penasaran.

"Kau tau kenapa namamu fosateri?" Kata Aldenius.

"Karena aku lahir pada malam hari saat bulan dan bintang bersinar sangat terang," jawab Callysta spontan.

"Benar. Dan apa kau tau apa yang istimewa dari itu?"

Callysta menggeleng. "Tidak ada yang pernah memberitahuku."

"Kau adalah satu-satunya illyad yang lahir pada malam penuh bintang setelah ratusan tahun berlalu," kata Aldenius. "Kebanyakan dari mereka yang ditakdirkan melakukan hal besar lahir pada malam sepertimu. Dan aku rasa kau memang ditakdirkan untuk tetap berada di bawah bintang-bintang."

"Maksudmu," renung Callysta. "Mungkin saja aku memang dilahirkan untuk tujuan ini. Untuk mengalahkan Zoikatras atau aku memang ditakdirkan untuk mati di bawah bintang-bintang."

Aldenius bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri sebuah lukisan. Seorang gadis cantik berambut pirang dan bermata biru terlihat tersenyum penuh kebahagiaan. Callysta hampir bisa merasakan rasa puas yang mendalam saat ia melihatnya.

"Dia adalah putreriku. Hingga hari ini aku bisa merasakan kehadirannya dalam dirimu." Callysta terkejut mendengar perkataan Aldenius tapi ia tetap diam. "Kalian memiliki karakter yang sama kuatnya. Keberanian yang besar dan cinta yang tidak terbatas. Semua yang ada pada dirimu mengingatkanku padanya."

"Kau sangat mencintainya, tapi bagaimana kau bisa membiarkannya pergi?"

"Karena aku takut kehilangan dirinya." Suara Aldenius terdengar sangat rapuh sehingga membuat Callysta tidak enak hati.

Tanpa sadar Callysta berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Aldenius. Callysta meletakkan tangan gurunya diatas telapak tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang tangan Aldenius dari atasnya.

"Aku berjanji, aku tidak akan mengecewakanmu. Jika kau melihat anakmu pada diriku maka itu adalah benar. Calyns Istora tidak pernah meninggalkanmu. Mungkin ia memang berada di sini dan ia ada dalam diriku. Jadi, hilangkan rasa sepimu guru karena aku akan selalu menjadi anakmu."

Aldenius tersenyum. Ia mengangkat satu tangannya yang bebas dan menyentuh puncak kepala Callysta sebagai tanda restu.
"Pergilah anakku. Tidak akan ada yang dapat menahan kehendakmu. Kau adalah cahaya dan kegelapan akan kembali tunduk padamu."

History of Florean : The Return Of The King MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang