Dua

571 30 4
                                    

Karena keterlambatannya masuk kelas praktikum membuat Aira mendapatkan tugas tambahan dari dosennya, Aira harus menangani seorang pasien yang sedang mengalami frustrasi.
Aira bingung harus memulai dari mana, sudah hampir satu jam ia bersama gadis itu, namun tidak ada satupun kalimat yang terucap oleh pasiennya.
Gadis itu hanya diam, sesekali dia menggeleng atau menganggukkan kepalanya. Aira hampir saja putus asa untuk membuat gadis itu mau berbagi cerita pada dirinya. Seketika Aira teringat kebersamaannya dengan Arya dengan segala tingkah Arya yang tiada pernah lelah berusaha membuatnya tersenyum.

"coba kamu lihat apa yang aku bawa!" ucap Arya, kala itu. Ia membawa sebuah kertas kosong, kemudian ia berikan pada Aira.

"buat apa?" tanya Aira tidak mengerti maksud Arya.

"daripada melamun, lebih baik kamu tuliskan sesuatu untukku, puisi, cerpen, novel, atau apa gitu... Nih kertasnya!" tunjuk Arya pada kertas yang tadi ia bawa.

"males!"

"apa melamun bisa menyelesaikan masalah? Tidak, kan! Jadi lebih baik, kamu melakukan hal yang bermanfaat, setidaknya itu bisa membuatmu mengerti bahwa kamu tidak sendiri. Masih ada orang lain yang peduli padamu... Lalu untuk apa kamu melamunkan sesuatu yang tidak nyata, tanpa berani melangkah untuk mewujudkan atau sekedar berusaha melakukan hal yang lebih baik dari sekedar melamun."

Aira tidak menyangka orang seperti Arya ternyata bisa mengucapkan kalimat bijak, tidak seperti Arya yang biasanya jahil dan sangat suka menggodanya.

Aira coba menerapkan apa yang pernah Arya lakukan padanya, untuk memancing pasiennya saat ini.

Sebuah kaca rias yang bisa dibawa kemana-mana Aira ambil dan letakan didepan gadis itu. "coba lihat kaca ini!" gadis itu menuruti arahan dari Aira. "apa yang kamu lihat?" ia tetap diam, enggan untuk menjawab.

Aira menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. Rasanya ia mulai lelah bertanya-tanya lagi pada gadis itu, yang ia ketahui bernama 'Nurma'. "seperti apa wajahmu disini? Coba kamu perhatikan! Berapa banyak air mata yang kamu keluarkan untuk memikirkan sesuatu yang sudah pergi? Mau sampai kapan kamu melamun dan berdiam diri tanpa peduli pada orang-orang disekitarmu yang selalu peduli padamu? Apa kamu tidak menyayangi mereka? Apa kamu tidak ingin tersenyum lagi pada mereka? Apa kamu ingin menghabiskan waktumu hanya untuk seperti ini? Apa kamu..."

"sudah, cukup! Aku lelah..." Nurma menutup kaca yang tadi diletakkan diatas meja oleh Aira. Ia menatap Aira dengan air mata yang kembali membanjiri wajahnya. "apa kamu pernah berharap pada sesuatu, dan kamu meyakini sesuatu itu akan menjadi milikmu? Setelah pengharapanmu penuh padanya, lalu yang kamu terima pada akhirnya dia pergi menghancurkan semua harapan yang pernah terbangun. Dia pergi meruntuhkan semuanya. Dia pergi membuat hidupmu seakan mati... Aku pun ingin ikut pergi..."

Aira memeluk gadis itu, untuk menguatkan hatinya. Tangisnya terasa pilu, menyayat hati Aira juga. Tubuh Nurma bergetar seiring bersama tangisan yang semakin menjadi. Aira membiarkan Nurma meluapkan semua rasa sedihnya, ia berusaha menjadi sandaran hati untuk gadis itu. Ia tau, yang Nurma butuhkan saat ini adalah seseorang yang bisa menopang langkahnya untuk kembali berjalan.

Waktu terus bergulir, seakan mengerti saatnya untuk merubah keadaan. Tangis Nurma kian mereda, namun ia tetap bersandar di bahu Aira, membuat kerudung yang Aira kenakan penuh dengan bercak-bercak bekas tangisan Nurma. Aira tidak memperdulikan semua itu, karena kini Aira sudah masuk dalam dunia yang Nurma ciptakan, dalam kesedihan yang Nurma rasakan.

"mbak... Apa mbak pernah kehilangan harapan? Lalu apa yang mbak lakukan?" tanya Nurma, ia sudah mulai bisa menormalkan dirinya, meski suaranya masih terdengar serak karena bekas tangisnya.

Aira memandang Nurma dengan tatapan yang meneduhkan, seakan memberi ruang untuk Nurma berbagi kisahnya, namun sebelum itu, Aira juga harus menjawab pertanyaan dari Nurma. "pernah...bahkan sering. Saat aku kehilangan apa yang aku harapkan, aku hanya berusaha merelakan dan belajar mengikhlaskan. Meskipun sulit, namun aku yakin akan ada hal lain yang jauh lebih baik untukku, mungkin bukan untuk saat ini, tapi nanti."

"mbak...bagaimana caranya untuk bangkit? Aku lelah mbak... Dulu, aku sangat berharap padanya, kami berpacaran sejak SMP hingga berakhir beberapa bulan yang lalu, saat kelulusan SMA. Dia mau melanjutkan kuliah keluar negeri, mbak. Sedangkan aku? Orang tuaku tidak memberikan ijin untuk ikut. Jadilah kami berpisah... Awalnya aku tidak terlalu mempermasalahkan perpisahan ini, tapi saat melihat foto-fotonya bersama cewek-cewek disana, aku sakit hati mbak. Apalagi ada temanku yang bilang kalau dia akan menikah dengan orang sana, padahal sebelum berangkat dia berjanji saat pulang nanti dia akan menikahiku... Aku gak rela, mbak... Aku...aku..." lagi, Nurma menangis.

"Nurma... Mau kamu mendengarkan mbak?" sejenak Nurma menatap Aira, lalu menganggukkan kepala, kemudian ia kembali menyandarkan kepalanya dibahu Aira.
"setiap orang pasti pernah merasakan terjatuh, namun orang yang kuat akan berusaha untuk bangkit kembali. Setiap orang juga pasti pernah merasakan kehilangan harapan, ataupun harapannya tidak sesuai dengan kenyataan, namun orang yang kuat akan berusaha untuk merelakan dan belajar mengikhlaskan. Mbak hanya bisa sebatas menasihatimu, tapi hanya dirimu sendiri yang mampu untuk bangkit kembali... Jika boleh mbak kasih saran, alangkah baiknya jika kita hanya berharap pada Allah saja, bukan pada manusia. Karena hanya Allah yang paling mengerti apa yang terbaik untuk hidup kita... Kadang kita merasakan pahitnya sebuah rasa kecewa, atas ingin yang tak terwujud. Namun, tanpa kita sadari, ada hikmah yang jauh lebih baik dan lebih indah dari apa yang kita inginkan."

"mbak, kenapa mbak memilih menjadi psikolog? Apa mbak tidak lelah mengurusi masalah orang lain?" tanya Nurma tiba-tiba.

Aira tersenyum menatap gadis itu, kini Nurma sudah bisa duduk tegak menghadap Aira. "mbak bukan mengurusi masalah orang lain, Nurma.. Mbak hanya berusaha menjadi pendengar yang baik dan jika mbak bisa mbak juga akan berusaha membantu apa yang mbak bisa. Dan mbak merasa senang bisa membuat orang lain memiliki semangat lagi untuk menjalani hidupnya. Mbak harap, Nurma juga bisa memulai kehidupan dengan semangat yang baru... Nurma mau kan?"

"selama mbak mau membantuku, aku janji aku akan berusaha bangkit. Mbak benar, mau sampai kapan aku seperti ini? Padahal aku masih memiliki mereka, mereka yang selalu menyayangiku, orang tua dan keluargaku... Terima kasih ya mbak? Mbak mau kan membantuku?"

"insya Allah, mbak mau... Kamu bisa menghubungi mbak kapan pun kamu mau, mbak ada untukmu... Mana dong senyumnya?"

Untuk kali pertamanya Nurma tersenyum pada Aira, senyum tulus meski masih terlihat terpaksa. Aira membalas senyum itu sambil memeluknya erat, ia merasa menemukan adik baru, adik yang memang tidak pernah ia miliki. Karena Aira hanya dua bersaudara, kakaknya yang sangat jauh dari Aira. Bukan jauh jaraknya, namun jauh hatinya, hatinya penuh dengan kebencian. Kebencian yang membuat Aira memilih jurusan ini, yaitu sebagai psikolog, Aira ingin dekat dengan kakaknya sebagaimana dulu saat semua masih baik-baik saja.

Banyak yang mampu menawarkan bahagia, namun mereka tak mampu menunjukkan jalan untuk tersenyum. Banyak yang mampu menawarkan keindahan, namun mereka tak mampu menunjukkan cara untuk melihat (melihat dari hati)...

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang