Dua Puluh Tujuh

100 9 6
                                    

Satu tahun kemudian

Sorak sorai para mahasiswa yang hari ini  wisuda terdengar sangat riuh, haru biru mewarnai kelulusan mereka. Saling mengucapkan selamat satu sama lainnya, saling mendoakan untuk masa depan masing-masing. Berfoto bersama, berbagi senyum dan tawa. Mereka telah melewati perjalanan panjang, hingga sampai di titik ini, dan setelahnya mereka akan memulai perjalanan baru.

Begitu juga yang dirasakan oleh Aira. Ia bersyukur telah menyelesaikan kuliahnya, dengan perjuangan yang tidak mudah untuk dilalui. Ia melihat keluarganya berkumpul melihat ia wisuda. Alin, Kakaknya kini sudah memiliki anak, yang ia gendong dalam dekapannya. Disamping kiri Alin, ada Andi, yang setia menemani istrinya, sambil sesekali bercanda dengan anaknya. Dan disamping kanan Alin, juga ada Ibunya yang menyambut Aira dengan penuh haru. Ia merasa anaknya sudah dewasa, sudah waktunya untuk melangkah ke jenjang yang lain. Namun hingga kini, belum ada laki-laki yang datang ke rumah untuk meminang putrinya. Ibunya tau, Aira anak yang baik, ramah, sopan, dan banyak teman. Namun laki-laki yang sering datang ke rumah hanya Ali dan Arya. Ia tidak tau, yang mana yang ada dihati anaknya itu.

"Ibu, kenapa menangis?" Tanya Aira.

"Nggak apa-apa, sayang. Ibu menangis bahagia, melihat kamu sudah wisuda. Anak Ibu sudah besar ternyata." Jawab Ibunya. "Sini, nak." Lalu mereka berpelukan.

"Tante, Dede juga mau dipeluk." Ucap Alin, sambil menyodorkan anaknya.

"Sini, Dek." Lalu Aira menggendong anaknya Alin dengan senang hati. Sambil mengajaknya bercanda, tangan kecil anak itu mengusap-usap wajah Aira, dan Aira terus menggodanya.

"Sudah pantas kok jadi ibu." Ucap Alin.

"Ihh, Kakak apaan sih!" Sahut Aira.

"Beneran, Ra. Lihat tuh Dela sudah bahagia banget kan, disampingnya sudah ada suami yang setia, lalu didalam perutnya juga ada calon bayinya, hanya tinggal menunggu masa kelahiran saja... Terus kamu kapan?"

Aira diam, tidak tau harus menjawab apa. Sebenarnya ia kesal jika ada pertanyaan seperti itu. Tapi mau bagaimana, nyatanya jodoh belum datang untuk menjemputnya. Aira memilih terus menggoda anaknya Alin yang ia gendong.

"Makanya kalau bepergian jangan sama Ali. Mana ada laki-laki yang berani mendekat kalau disampingmu selalu ada Ali." Nasehat Alin.

"Alin, nggak boleh kayak gitu!" Tegur Ibunya.

"Kan emang bener, Bu..."

"Alin!" Kini, suaminya yang ikut menegur.

Sedangkan Aira, memilih asyik bermain dengan keponakannya, daripada ikut berdebat dengan kakaknya. Belakangan ini, semenjak Alin menikah dengan Andi, memang ia lebih sering berpergian dengan Ali. Awalnya karena perintah kakaknya untuk membantu mencarikan dan membelikan ini dan itu, sampai akhirnya mereka terlalu sering pergi bersama hingga saat ini. Dan hal itu membuat Alin berpikir jika tidak ada laki-laki yang berani mendekati adiknya karena selalu ada Ali disamping Aira saat mereka bepergian.

"Aira...." Teriak Dela, sambil berjalan tergopoh-gopoh karena sedang hamil besar.

Aira segera menyambut kedatangan Dela, sambil berusaha membantu ia berjalan. "Duhh, jangan lari-larian, De. Ingat perut kamu sudah besar gini, masih saja nggak hati-hati." Tegur Aira. Ini bukan kali pertama ia melihat Dela berjalan cepat, bahkan dulu waktu perutnya belum sebesar sekarang, Dela masih sering berlari. Karena itulah, setiap ia bersama Dela, ia akan berusaha menjaga Dela dengan baik. Mempersiapkan apa-apa yang Dela butuhkan dan sejenisnya. Begitupun dengan wisudanya Dela, tidak lepas dari bantuan Aira, ia membantu banyak hal agar mereka bisa lulus dan wisuda bersama. Memulai awal bersama, seharusnya mengakhiri dengan kelulusan bersama pula. Pikir Aira.

"Ihh, Aira, masih saja bawel ya! Aku kan ingin cepat-cepat ketemu kamu, Ra. Terimakasih untuk semua bantuanmu selama ini, aku nggak bisa membayangkan tanpa bantuan darimu, tentu aku takkan bisa sampai dititik ini." Ucap Dela, penuh rasa syukur.

"Alhamdulillah... Allah yang telah memudahkan jalan kita, Dela. Aku hanya perantara saja."

"Kamu tetap saja merendah ya, Ra..." Tiba-tiba Dela merasakan sakit yang teramat didalam perutnya, ia memegangi perutnya.

"Kenapa, De? Sakit ya? Apa sudah waktunya melahirkan?" Tanya Aira, panik. "Raffa! Bantuin Dela. Ini Dela kenapa?"

Dengan segera, Raffa berlari mendekati mereka berdua. Begitu juga dengan keluarga Aira dan keluarga Dela. Lalu mereka membawa Dela ke rumah sakit.
_____
"Aira." Panggil Dela, lemah. Ia meminta semua orang untuk keluar dari ruang rawat itu, karena ingin bicara berdua saja dengan Aira.

"Jangan banyak bicara dulu, De. Keadaanmu belum membaik." Nasehat Aira, ditengah tangisnya.

"Aku tau, Ra. Aku memang lemah. Dari awal hamil aku sudah merasakan banyak perbedaan dan mudah sekali lelah. Awalnya aku pikir itu hanya karena kehamilan yang biasa dirasakan oleh setiap ibu hamil. Namun semakin hari, semakin bertambah minggu dan bulan, ternyata sakit itu kian menyiksa, Aira. Tapi aku tidak mau orang lain tau tentang rasa sakit yang ku alami. Karena itu pula, aku meminta Pay untuk mengabulkan permintaanku, dan kami pun pindah rumah, Ra."

"Dela, cukup, jangan diteruskan lagi. Aku nggak mau dengar. Aku hanya ingin kamu banyak beristirahat, agar nanti proses melahirkannya berjalan dengan lancar, De." Ditengah isak tangisnya yang tak mampu ia tahan, Aira masih berusaha tersenyum untuk menguatkan sahabatnya.

"Aira... Nanti aku juga akan beristirahat, bahkan lebih lama, dan sangat lama. In shaa Allah."

"De..."

"Untuk itu, biarkan aku menyelesaikan ucapanku dulu, Aira... Aku mohon, nanti saat aku sudah tak ada, aku titip anakku ya, Ra. Cuma kamu yang aku percaya untuk menjaga anakku."

"Dela, kamu ngomong apa! Cukup, De! Kamu harus berjuang, untuk anakmu!"

"Aira, selama sembilan bulan ini aku sudah berjuang sekuat yang ku mampu. Meski ku tau, kandunganku sangat lemah, namun aku sudah berusaha untuk kuat, Ra. Karena aku ingin, ketika aku sudah tidak mampu menemani Pay lagi, setidaknya ada anakku yang bisa menjadi pelipur lara, pelepas lelah, pengobat rindu, penguat dikala ia lemah. Aku mohon, Aira, tolong... Ku titipkan anakku padamu."

"Dela... Aku nggak mau kamu menyerah seperti ini. Kamu kuat, De. Kamu pasti mampu berjuang sedikit lagi."

"Maaf, Bu... Pasien sudah harus memulai operasinya." Ucap suster, yang masuk disusul dengan beberapa perawat yang lainnya.

"Aira, kamu harus ingat pesanku ya, Ra."

"Dela, kamu harus kuat, saat selesai operasi nanti, aku masih ingin melihat kamu tersenyum lagi, De."

Dela tersenyum membalas ucapan Aira, ia tidak tau apa masih mampu ia kembali tersenyum setelah selesai operasi nanti?

Dela mengalami kandungan lemah sejak masa awal mengandung. Sebenarnya ia merasakannya, namun ia tetap ingin mempertahankan bayi dalam kandungannya. Ia berusaha terlihat kuat dan baik-baik saja selama masa kehamilan. Ia sembunyikan semua rasa sakitnya dari semua orang, termasuk Raffa, suaminya. Dela tidak mau membuat Raffa khawatir akan keadaannya, apalagi memeriksakan keadaannya lebih lanjut. Ia tidak mau hal itu terjadi. Namun saat ini, ketika dokter memberitahukan semuanya pada orang-orang terdekatnya, Dela tidak mampu berbuat apa-apa. Memang seperti itulah keadaan yang sesungguhnya. Dokter memberikan pilihan, ingin menyelamatkan ibunya atau bayinya, dan Dela kukuh ingin bayinya yang selamat. Bagaimana mungkin ia yang sudah berjuang selama sembilan bulan, rela kehilangan calon anaknya begitu saja. Hingga pada akhirnya keputusan terakhir yang diambil adalah melakukan operasi sesar. Dengan banyak resiko yang mungkin bisa terjadi.

Malam mencekam hadirkan kegelapan, berkawan dengan sunyi, hadirkan tangis di akhir, dalam goresan takdir...

*02052018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang