Enam Belas

98 8 16
                                    

Seperti dedaunan yang melekat pada satu pohon yang sama,
Mereka bisa saling melihat, bisa saling menyapa, bisa saling mengayomi,
Namun bisakah mereka berjalan bersama dalam tautan satu pohon yang sama?

Aira mendapat tugas dari kakaknya untuk menemani Ali berbelanja, menyiapkan apa-apa yang diperlukan untuk acara lamaran Alin dan Andi. Karena mereka memang sengaja diminta untuk tidak pergi bersama sampai hari pernikahan mereka. Jadilah adik-adik mereka yang harus direpotkan, pergi kesana kesini, mencari ini dan itu.
Sepanjang perjalanan dari rumah, mereka lebih banyak diam. Ali fokus menyetir mobil, dan Aira fokus mencari alamat tempat-tempat yang akan mereka datangi.

"Kenapa harus kita sih yang repot-repot kesana kemari? Yang mau nikah siapa, yang repot siapa!" Gerutu Ali, saat melihat jalanan didepannya padat merayap karena macet lalu lintas. "Kita cari jalan pintas saja ya, kemana yang pertama kita datangi, Ra?"

Setelah Aira memberitahukan tempat dan alamat yang pertama mereka akan datangi, Ali berusaha mencari jalan untuk keluar dari kemacetan, mencari celah kecil yang bisa ia terobos menyalip kendaraan yang lain. Setelah mampu menemukan jalan pintas, barulah Aira mulai tenang. Karena selama pencarian jalan tadi, Aira terus saja beristighfar, khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, melihat seperti apa Ali menerobos, menyalip, menikung, membuat Aira ketakutan sampai menutup rapat matanya.

"Aira, kamu takut?" Tanya Ali disertai tawa kecilnya.

"Gimana nggak takut, melihat kamu tadi!" Kesal Aira.

"Takut tuh sama Allah, Ra, bukan sama aku. Apalagi cuma karena melihatku, masa iya kamu takut? Coba deh, perhatikan aku baik-baik, dimana letak menakutkannya?" Tanya Ali lagi, sambil melihat kearah Aira, karena memang didepannya lampu merah membuat ia menghentikan laju kendaraannya.

Aira menatap balik dalam beberapa detik, setelahnya ia kembali melihat lurus ke depan. "Takut sama Allah itu yang utama. Dan definisi takut yang tadi aku katakan, lain halnya dengan takutku pada Allah... Dan apa tadi kamu bilang? Aku takut sama kamu? Idihh, pede bener kamu!"

"Ngaku saja kali, Ra!"

Aira pura-pura tidak mendengar semua ucapan Ali.

"Oh iya, kemarin aku ketemu sama Nila. Dia sudah punya anak ya, Ra? Anaknya juga sudah besar." Tanya Ali, mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Li, dia kan setelah lulus sekolah langsung nikah dan ikut suaminya. Dhini juga, sudah punya anak, kalau nggak salah tahun lalu dia nikah."

"Terus kamu kapan nyusul mereka? Kamu kan satu angkatan sama mereka, teman sedari kecil."

"Terus apa kabar kamu sendiri, Ali? Memangnya kita nggak satu angkatan? Nggak temenan sedari kecil?" Tanya balik Aira, yang membuat Ali berpikir sejenak.

"Ya beda dong, masa iya aku disamain dengan Nila dan Dhini? Jelas aku lain!"

"Ini kita bahas apa sih, Ali? Makin nggak jelas deh kamu!"

"Ya sudah, kita bahas yang jelas-jelas saja. Kita ke toko bunga mana, Ra? Gimana kalau yang dekat sama sekolahnya Alya? Sekalian jemput dia, nggak apa-apa kan, Aira?"

Aira melihat jam ditangannya, tak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. "Iya nggak apa-apa."

"Nurut banget sih kamu, Ra." Ucap Ali, pelan.

"Tadi kamu bilang apa, Li?" Tanya Aira yang samar-samar mendengar ucapannya.

"Nggak! Tadi aku cuma bilang, kasihan Alya kalau bukan kita yang jemput, siapa lagi? Soalnya orang dirumah semuanya sibuk, pasti nggak kepikiran buat jemput dia."

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang