Aira diajak Cindy silaturahim ke rumahnya. Cindy ingin Aira juga sesekali mengunjungi tempat tinggalnya. Dengan semangatnya, pagi-pagi ia sudah menjemput Aira.
"Gimana, Aira, udaranya lebih sejuk kan dibanding udara di kota?" Tanya Cindy.
Aira melihat pemandangan di sepanjang jalan yang mereka lewati, area pesawahan yang hijau, terlihat tingginya sama rata. Indah. Udara yang masih alami, tanpa adanya campuran polusi udara. "Iya, Cindy. Sejuk dan nyaman. Sepertinya bisa betah kalau tinggal disini ya, Dy?"
"Pasti dong. Aku saja nggak mau pindah-pindah. Walaupun kuliah ku lumayan jauh dari rumah, tapi aku lebih memilih bolak balik, daripada harus ngekost, Aira. Sudah nyaman dengan suasana disini. Ya, sama seperti Arya itu. Apalagi Arya, lebih sibuk dari aku. Setiap hari jadwalnya padat, Ra... Tapi ini hari sabtu, jadwalnya hanya pagi saja mengajar di SMP. Dan hari minggu, Arya liburnya, itupun waktunya ia habiskan untuk membantu orangtuanya di rumah. Arya baik banget ya, Ra. Di tengah kesibukannya, ia selalu memprioritaskan orangtua, semua yang ia lakukan adalah bentuk kasih sayangnya pada mereka. Sampai ia melupakan bahwa dirinya juga perlu istirahat."
"Cindy, Arya sesibuk itu kah?" Tanya Aira, yang baru mengetahui keadaan kehidupan Arya. Ia tidak menyangka, Arya begitu tegar menjalani hidupnya. Aira tidak pernah melihat Arya mengeluh. Mungkin terakhir kali, ia melihat Arya mengeluh adalah saat Ayahnya dirawat di rumah sakit. Karena setelah Arya pindah, Aira memang jarang berkomunikasi dengannya, sampai Aira tidak tau seperti apa keadaan Arya sebenarnya. Arya banyak berubah setelah pindah, sifat usilnya juga berganti jadi kedewasaan. Seperti itulah yang Aira lihat, keadaan Arya saat bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu.
"Iya, Aira... Kita sudah sampai, ayo turun, Ra." Cindy mengajak Aira masuk ke dalam rumahnya, rumah sederhana, namun didalamnya terlihat mewah dengan segala isinya yang tertata rapih. "Aku kenalin sama Mamahku."
Saat mereka memasuki ruang tamu rumah itu, disana terlihat seorang wanita paruh baya sedang menatap kearah mereka, "jadi ini, orang yang telah merubah anak saya?" Tanya wanita itu pada Aira.
Aira tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu, ia hanya diam, tak menjawab.
Sedangkan Cindy, berjalan menyalami wanita itu, yang tak lain adalah Ibunya. "Mamah, Cindy kan sudah bilang, ini keinginan Cindy, Mah."
"Diam, kamu!" Bentaknya, "dan kamu, saya harap kamu berhenti mengusik pikiran anak saya. Biarkan dia seperti dulu. Sebelum mengenal kamu dan Arya. Bukan seperti sekarang, penampilan berubah seperti ibu-ibu, tidak pantas dengan usianya yang masih muda. Apalagi pergaulannya, teman-temannya saja sampai heran dengan perubahan sikap Cindy."
"Tante, maaf... Saya tidak pernah menyuruh Cindy untuk begini dan begitu. Saya hanya membantu Cindy yang ingin berubah jadi lebih baik. Dan tentang pakaian yang dikenakan Cindy, itu memang suatu kewajiban bagi setiap muslimah." Jelas Aira.
"Seperti ini kamu bilang lebih baik?Dan sekarang kamu juga mau mempengaruhi saya, iya? Berani sekali kamu!"
"Maaf, Tante, bukan maksud saya begitu, saya hanya..." Ucapan Aira dipotong oleh Ibunya Cindy.
"Cindy, berhenti bergaul dengannya!"
"Mah!"
"Kamu mau nurut sama Mamah atau dia?"
"Mamah kok gitu sih. Sudah, ayo, Aira, kita pergi saja!" Ajak Cindy.
Mereka akhirnya keluar dari rumah itu, dengan makian mengiringi langkah mereka.Cindy membawa Aira ke sebuah sekolah, ia mengajak Aira turun dan memasuki kantin sekolah itu.
"Aira, maafin Ibuku ya, Ra? Beliau memang begitu, sangat tidak mendukung perubahanku, Ra. Aku tidak tau harus bagaimana bicara padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senyum Aira
General FictionSenyuman tulus itu tidak hanya terlihat indah dikala bahagia. Namun juga ketika duka menemaninya dan ia terima dengan sabar, lalu ia tersenyum. Menunjukkan pada dunia, bahwa ia mampu menghadapi semuanya...