Dua Puluh Enam

108 10 15
                                    

Minggu pagi adalah waktu santai bagi kebanyakan orang. Begitu juga dengan Alin dan Andi, mereka menghabiskan waktu bersama, ditambah lagi dengan Alin yang menjadi sangat manja pada suaminya itu. Saat ini Alin sedang mengandung, usia kandungannya memang masih sangat belia, karena itu pula mereka benar-benar berusaha menjaga kesehatan dan setiap aktifitas Alin harus serba hati-hati. Alin kini sangat jarang keluar rumah, jika ia ingin sesuatu Andi dan Arya yang ia repotkan untuk mengabulkan keinginannya, tak jarang adik kesayangannya juga jadi korban mencarikan ini dan itu. Tapi mereka tetap senang walaupun lelah, karena mereka tau, mereka akan kedatangan keluarga baru.

"Sayang, kamu ingat nggak, kapan awal aku mengenalmu?" Tanya Andi pada istrinya.

"Aku nggak tau, sayang... Tapi kalau kamu tanya, kapan aku mengenalmu. Itu sejak awal aku masuk SMA itu. Kamu sebagai kakak kelas yang cukup populer, tentu mudah untuk dihafal oleh adik kelasnya, seperti aku." Jawab Alin, sambil mengingat-ingat masa sekolah mereka.

"Waktu itu, saat upacara tujuh-belasan, aku menjadi pemimpin upacara. Dan kamu menjadi anggota PMR (palang merah remaja) yang saat itu bertugas mengecek dan memperhatikan anak-anak yang sakit saat upacara... Dari pagi aku belum sarapan, tapi aku berusaha untuk tetap berdiri tegak, meski kepalaku sudah terasa sangat berat. Dan Alhamdulillah, Allah menguatkanku saat itu. Sampai selesai upacara. Setelah itu, aku langsung berlari ke UKS sekolah untuk beristirahat sejenak. Dan disanalah kamu dengan paniknya membantu aku, memberi obat dan bertanya apa sudah sarapan atau belum. Tanpa pikir panjang, kamu langsung membelikan roti dan teh hangat untukku. Sejak saat itu aku mulai memperhatikanmu." Cerita Andi.

"Benarkah? Saat itu aku memang benar-benar panik, lihat kamu pucat pasi, lemah seakan tidak makan satu minggu... Eh tunggu dulu, berarti selama ini kamu sudah menyimpan rasa yaa? Kenapa nggak pernah bilang? Malu ya, karena aku nggak populer kayak cewek-cewek anggota OSIS yang biasanya nempel mulu sama kamu. Cewek-cewek centil itu. Uhh, kalau ingat mereka aku tuh...." Gerutuan Alin, dihentikan oleh tangan Andi yang menempel di bibirnya, membuat Alin langsung terdiam.

"Kamu bawel juga ternyata yaa? Aku pikir, kamu sependiam yang terlihat."

"Kenapa? Nyesel nikah sama..."

"Hustt! Kalau ngomong dijaga!"

"Maaf..."

"Dulu, aku nggak pernah mengungkapkan bukan karena malu kamu nggak populer, karena bukan kepopuleran yang membuat aku memperhatikanmu. Hanya saja, aku ingin menjaga kamu dengan cara menjauhi di kehidupan nyata, namun mendekati di dalam doa dalam hati. Kamu tau, itu jauh lebih indah, lebih istimewa, karena kita melibatkan Allah dalam hal mencintai. Dan Alhamdulillah, dengan cara itu pula, Allah memberi jalan untuk mempersatukan kita dalam ikatan halal."

"Sayaaaanngg... Aku terharu." Alin merapatkan duduknya dengan Andi, ia menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

"Pagi-pagi, berasa lagi nonton di bioskop deh!" Celetuk Ali, yang menggangu kebersamaan kakak dan kakak iparnya.

"Bilang saja, kamu iri, iya kan? Makanya nikah!" Balas Andi.

"Gimana mau nikah, calonnya saja belum ada, malah saudara iparnya sendiri yang di-pedekate-in." Sambung Alin. Mereka memang tau seperti apa kelakuan Ali saat bersama Aira. Tingkah-tingkah anehnya, kata-kata usilnya, dan kesiapannya untuk membantu Aira kapanpun dan kemanapun.

"Kalian ini pantas ya jodoh, kelakuannya sama saja. Adiknya masih sendiri, bukannya bantuin usaha, eh malah diledekin begitu!" Kesal Ali.

"Iya, iya, kita bantuin kok. Tenang saja... Kebetulan banget nih, Al, kakak lagi ngidam pengen makan mangga muda yang dijual di jalan Kenangan itu. Kamu mau kan beliin buat calon ponakanmu? Dan Aira yang paling ngerti mangga seperti apa yang biasa kakak beli. Makanya kamu ajak Aira juga ya kesananya." Perintah Alin, sambil tersenyum jahil.

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang