Tujuh Belas

90 9 12
                                    

Sudah dua jam lebih Raffa dibuat heran dengan kedatangan Ali. Sejak datang hingga sekarang, Ali hanya diam seakan sedang berpikir keras. Kadang ia tersenyum sendiri, kadang raut wajahnya terlihat serius. Entah apa yang ada dipikirannya.  Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Raffa membuka suara.

"Al, kamu kenapa? Bukannya seharusnya kamu ada dirumah, besok kan ada acara lamaran Kakakmu. Masa kamu nggak hadir? Malam-malam malah datang kesini." Tanya Raffa.

"Pay, aku bingung." Jawab Ali, sambil mengusap wajahnya beberapa kali.

"Bingung kenapa? Kakakmu yang mau nikah, kok kamu yang bingung?"

"Bukan masalah nikahnya, tapi Kak Andi kan nikahnya sama Kakaknya Aira, Pay. Kamu tau sendiri beberapa waktu terakhir aku berusaha berubah menjadi lebih baik. Kenapa saat aku berubah, yang membuatku berubah malah akan jadi saudara iparku."

Raffa tersenyum mendengar penuturan Ali. Tidak biasanya Ali jujur tentang perasaannya, apalagi masalah hatinya. Tentu saat ini Ali memang benar-benar butuh nasehat, atau sekedar butuh teman untuk mendengarkan keluh kesahnya. "Terus?"

"Kayaknya percuma aku berubah, Pay. Jadi baik itu susah." Ucapnya frustasi.

"Baru diuji segitu saja sudah menyerah? Bagaimana jika harus menyeberangi lautan atau mendaki gunung, Al?"

"Pay, kasih saran kek, bukan malah menambah pikiranku." Kesal Ali. Sedangkan Raffa membalasnya dengan senyuman, "Pay!"

"Iya, iya, sabar Al. Tenang dulu." Sahut Raffa. "Jadi ini ceritanya kamu sudah mengakui bahwa perubahanmu belakangan ini karena Aira? Terus sekarang kamu bingung karena Kakakmu mau menikah sama Kakaknya?"

"Iya..." Ucap Ali, lemah. Saat ini pikirannya memang sedang tidak menentu. Disatu sisi, ia bahagia bisa semakin dekat dengan Aira, namun disisi lain, ia merasa kedekatan mereka saat ini karena mereka akan menjadi keluarga. Entah mengapa, meski begitu banyak perempuan yang ia kenal dan pernah menjadi pacarnya, namun tidak ada satupun diantara mereka yang mampu membuatnya merasakan sesuatu yang berbeda, seperti saat ia bersama Aira. Rasa bahagia yang tak terhingga, meski hanya sekedar berada didekatnya, apalagi saat ia mampu membuat Aira tersenyum. Rasanya ia ingin menghentikan waktu, agar semakin lama hal itu terjadi.

"Menurutku, ini nggak masalah, Al..." Ucapan Raffa dipotong oleh Ali.

"Ya jelas lah nggak masalah buat kamu, Pay! Kan aku yang ada masalah!" Sungut Ali.

"Bukan begitu, Al. Dengerin dulu makanya! Kamu dan Aira menjadi saudara ipar, bukan masalah, karena yang menikah itu Kakakmu dan Kakaknya, bukan Kakakmu dan Aira... Aira masih tetap sendiri, kamu masih punya kesempatan untuk memikirkan lebih jauh dan matang kemana kamu ingin melangkah. Jika memang kamu sudah yakin dengannya, datangi orangtuanya dan katakan yang kamu rasakan. Begitu baru benar, Al.

"Masalahnya nggak semudah itu, Pay! Belum tentu juga keluargaku dan keluarganya setuju."

"Terus? Tuh kan putus asa lagi!"

"Pay, kamu tuh mau ngasih saran atau bikin aku makin pusing sih?"

"Al, shalatlah agar hatimu tenang dan tau apa yang harus kamu lakukan. Tiada tempat mengadu yang lebih baik daripada Allah. Karena hanya Allah yang tau dan paling mengerti diri kita, bukan orang lain, bahkan kadang diri kita sendiri pun tidak tau apa yang sebenarnya kita inginkan. Tapi Allah tau apa yang kita butuhkan, Al." Nasehat Raffa pada akhirnya, ia sudah tidak tau harus berkata apa lagi pada Ali. Karena seseorang saat pikirannya sedang tidak menentu, dirinya sendiri pun tidak tau apa yang sebenarnya ia rasakan dan inginkan.

"Terimakasih, Pay."

Ali menuruti saran Raffa, ia mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat. Ia mengadukan semua yang ia rasakan pada Allah. Dan ia serahkan semua urusan dalam hidupnya hanya pada Allah semata.

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang