Dua Puluh Delapan

97 10 21
                                    

Assalamualaikum, suamiku...

Semoga Allah senantiasa menjagamu dalam naungan rahmat-Nya. Aku tidak tau, bisakah surat ini sampai padamu, disaat aku selalu menyembunyikan semuanya darimu. Semua ini ku lakukan karena aku begitu mencintaimu, bahkan sebelum kamu menikahiku. Terimakasih telah memilihku, meski hingga kini aku tidak tau apakah ada cinta dihatimu untukku? Hanya kamu dan Allah yang tau semua itu. Terlepas dari kamu mencintaiku ataupun tidak, aku tidak perduli akan semua itu. Karena yang aku tau, selama aku menjadi istrimu, tidak pernah sekalipun kamu menyakiti perasaanku, entah dengan ucapan ataupun perbuatan. Sungguh aku sangat bahagia dan bersyukur bisa menjadi istrimu. Wanita yang kamu muliakan, setelah ibumu. Wanita yang kamu jaga dengan sepenuh jiwa dan ragamu.

Raffa, suamiku... Kamu memang tidak pernah mengungkapkan kata cinta padaku, namun semua sikap dan perbuatanmu sudah cukup membuatku merasa mencintai orang yang tepat. Orang yang begitu mencintai Rabb-nya, dan aku tidak pernah cemburu akan hal itu. Justru semua itu, membuat aku belajar untuk menjadi istri yang pantas untuk berjalan bersamamu.
Aku tau di awal pernikahan kita, mungkin kamu belum mencintaiku, bulan-bulan awal itulah yang membuatku merasa takut tentang nasib pernikahan kita, jika kamu tidak bisa mencintaiku.  Perlahan namun pasti, kamu mulai berubah, memberi ruang untukku lebih mengenalmu, lebih dekat denganmu, terimakasih, suamiku...

Raffa, suamiku...
Aku juga tidak tau, sanggupkah aku menjaga anak dalam perutku ini hingga lahir nanti? Sakit yang ku rasakan semakin hari semakin menyiksaku, namun aku tidak ingin kamu tau. Biarkan aku berjuang sendiri untuk mempertahankan semampuku. Semua ini karena aku ingin memberikan hadiah terindah dalam pernikahan kita, sebagai pengganti semua perjuanganmu untuk rumah tangga kita. Terimakasih, suamiku...
Jika nanti aku tidak mampu lagi untuk menemani langkahmu, semoga Allah memberikan pengganti yang lebih baik daripada aku. Mungkin aku memang tidak bisa membaca perasaan dalam hatimu, namun aku bisa melihat cahaya dimatamu saat melihat Aira, sahabatku. Silahkan kamu anggap aku sok tau, tapi kamu harus ingat, aku juga seorang psikolog, sama seperti Aira, meski aku tak sepandai dia. Jujur aku cemburu padanya. Hanya padamu, aku katakan ini. Semua kebaikan ada dalam hatinya, semua orang-orang yang dekat dengannya pasti mencintainya, begitupun aku yang juga mencintainya lebih dari sahabat, dia adalah separuh hatiku. Dan jika kamu dengannya, tentu aku pun takkan melarang, karena dia adalah bagian dari hatiku. Omonganku mulai melantur kemana-mana ya, maafkan aku suamiku. Kamu berhak bahagia dengan orang yang mampu membuatmu bahagia, membuat cahaya dimatamu kembali bersinar, sebagaimana saat kamu berbicara dengan Aira. Meski kamu begitu pandai menyembunyikan semuanya dari semua orang. Termasuk aku, tapi aku tetap bisa melihatnya...

Raffa, suamiku... Jika anak kita lahir nanti, dan aku tidak mampu menjaga dan merawatnya, semoga kamu bisa menjadi ayah terbaik untuk anak kita nanti, meski tanpa aku. Dan, tentang beasiswa S2-mu di Istanbul, maafkan aku jika aku tak bisa menemanimu. Pergilah, kejarlah semua mimpimu, meski tanpa aku disampingmu, percayalah doaku menyertaimu.

Raffa, suamiku...
Kini aku baru menyadari, apa yang berbeda antara aku dan Aira. Salah satunya adalah cara dia memanggilmu, berbeda dengan kebanyakan orang yang mengenalmu, seperti aku, yang selalu memanggilmu, 'Pay'. Mulai dari sekarang, aku akan merubah panggilan itu, agar tidak hanya Aira yang berbeda, namun ada aku juga, suamiku...
Terlalu banyak aku menggoreskan tinta ini, dan aku mengabaikan sakit yang mulai menyerang perutku lagi. Cukuplah sampai disini ku sampaikan sepenggal kisah kita yang aku rasakan selama menjadi istrimu. Sungguh aku tak pernah menyesal mengambil pilihan ini. Karena kamu adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki. Terimakasih, Raffa, suamiku...

Salam sayang dan rindu yang kelak mungkin akan kita rasakan...
_Dela, istrimu_

Raffa tak mampu menahan tangisnya selama membaca surat dari Dela. Surat yang ia temukan di kantong gamis yang Dela pakai, sebelum menghadap Ilahi. Di surat itu tertera tanggal yang ditulisnya satu bulan yang lalu, berarti selama satu bulan itu pula, Dela membawa surat itu kemanapun dia pergi. Raffa ingat, beberapa kali ia melihat kertas itu terselip di baju Dela, dan setiap Raffa tanya, Dela selalu menjawab bahwa itu hanya kertas nota belanjaan. Dan Raffa tidak pernah curiga. Selama ini yang ia lihat, Dela baik-baik saja, tidak pernah mengeluhkan apapun yang dirasakannya. Ternyata dibalik diamnya, ada perjuangan berat untuk melawan semua rasa sakit itu seorang diri. Dan sebagai suami, Raffa tidak tau apa-apa akan hal itu.

"Dela, kenapa kamu sembunyikan semua ini dariku? Kenapa kamu tidak mengajakku berjuang bersamamu? Dan apa yang kamu pikirkan salah, De. Dulu, mungkin memang benar aku menyukai Aira, rasa suka yang menurutku wajar sebagai seorang laki-laki normal. Namun saat aku tau, Ali juga menyukai Aira, bahkan jauh lebih lama dari aku, sejak saat itu aku berusaha mengubah perasaanku yang tidak seharusnya itu. Kamu juga salah, jika kamu menganggap aku tidak pernah mencintaimu. Meski aku tidak pernah mengungkapkan rasa itu, seharusnya kamu tau semua yang aku lakukan untukmu adalah bentuk dari rasa cintaku padamu, Dela. Dan kenapa kamu tidak memberi aku kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku padamu, De? Kenapa? Kamu tinggalkan aku disaat aku benar-benar mencintaimu, disaat aku tak mampu jauh darimu, disaat kita mempunyai pelita hati, lihatlah betapa cantik anak kita, sayang... Lihatlah." Raffa menggendong anaknya dan mendekapnya erat. Ia membayangkan bahwa yang saat ini ia dekap adalah Dela, istrinya. Yang baru saja dimakamkan. Dela meninggal setelah operasi. Dela sempat melihat wajah putrinya meski hanya sekilas, karena setelahnya ia menutup mata untuk selamanya. Meninggalkan semua orang yang ia sayangi. Orangtua, suami, anak, dan sahabat-sahabatnya.

"Pay, lepaskan bayinya! Kamu mau membunuh anakmu sendiri, kamu dekap seperti tadi, bayi itu bisa mati, Pay. Sadar!" Tegur Ali, yang masuk ke dalam kamar Raffa karena khawatir akan keadaannya. Sejak pemakaman Dela selesai, Raffa membawa anaknya masuk ke dalam kamar begitu lama. Hingga suara tangisan bayi itu terdengar keluar, Ali tanpa pikir panjang langsung mendobrak pintu kamar itu agar bisa masuk kedalamnya.

Ali merebut bayi itu dari pelukan Raffa yang mulai melemah, ia kemudian keluar kamar sebentar untuk mencari Aira dan menitipkan bayi itu pada Aira. Setelahnya ia kembali ke kamar Raffa.

"Istighfar, Pay, istighfar... Semua ini adalah takdir yang harus kamu terima. Semua yang kita miliki adalah titipan dari Allah, dan bisa kapan saja diambil oleh-Nya. Begitu pun nyawa kita, Pay. Aku yakin kamu lebih paham daripada aku akan hal itu."

"Kamu bisa bicara seperti itu karena bukan kamu yang berada di posisiku, Al. Begitu pun aku, dulu bisa menasehatimu dengan mudahnya tanpa memikirkan betapa beratnya perjuanganmu untuk berubah. Dan sekarang aku merasakan itu sendiri, Al."

"Kamu kuat, Pay. Aku yakin kamu mampu melewati semua ini dengan baik, ingat sekarang kamu juga sudah jadi seorang Ayah."

"Bukan perpisahan dan takdir yang aku sesali, Al. Tapi diriku sendiri! Bagaimana bisa aku tenang, selama menikah dengan Dela, sekali pun aku tidak pernah mengucapkan kata cinta padanya, tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya, Al. Semua kata-kata yang sebenarnya Dela tunggu, namun tak pernah aku ucapkan. Dan sekarang, aku hanya bisa menyesali semua itu. Karena semuanya sudah terlambat, Al. Aku mencintainya, lebih dari yang dia tau. Aku pikir cukuplah aku memperlakukannya dengan baik, semua itu mampu membuatnya mengerti seperti apa perasaanku padanya. Tapi ternyata aku salah, Al. Dela salah mengartikannya. Wanita perlu sebuah ungkapan, Al. Ketika kita menyayanginya, ketika kita menyukainya, ketika kita mencintainya, semua itu perlu kita ungkapkan, Al. Aku harap, apa yang saat ini menjadi penyesalanku, bisa menjadi pelajaran bukan hanya untukku tapi juga untukmu, Al. Ungkapkan perasaanmu pada Aira, jangan buat wanita salah mengartikan keterdiaman kita. Karena tidak cukup hanya sebatas perlakuan saja, wanita butuh pernyataan dan kepastian akan hubungan yang jelas."

*03052018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang