Tiga Puluh

100 11 18
                                    

"maksud kedatangan kami kesini adalah untuk melamar Aira." Ucap Ayah Arya, setelah sebelumnya bertanya kabar dan obralan ringan lainnya. Saat ini mereka datang ke rumah Aira dengan niat melamar Aira untuk anaknya, Arya.

Suasana menjadi hening seketika. Aira dan Ibunya terkejut mendengar maksud kedatangan mereka. Ini memang pertama kalinya Ibunya Aira bertemu dengan orangtua Arya. Meskipun dulu mereka sempat menjadi tetangga dalam beberapa tahun, namun saat itu Ibunya Aira tidak tinggal bersama Aira, karena itu ia tidak mengenal mereka. Hanya Arya yang beliau kenal, karena sudah beberapa kali bertemu.

"Bagaimana tanggapan nak Aira?" Tanya Ayahnya Arya.

Aira menggenggam erat tangan Ibunya, ia tidak tau harus menjawab apa. Ia pun tidak menyangka, Arya akan datang ke rumahnya dengan niat baiknya itu. "Saya sangat tersanjung dengan kedatangan Arya beserta Om dan Tante, terimakasih..." Ucap Aira, sambil memikirkan kalimat apa yang pantas untuk menjawab pertanyaan itu. "saya dan Arya memang sudah cukup lama berteman, sudah saling mengenal masing-masing. Saya tau, Arya orang yang baik, bahkan sangat baik menurut saya... Namun untuk membicarakan tentang pernikahan, saya mohon maaf, saya perlu waktu untuk memikirkannya lebih jauh, dan saya perlu istikharah terlebih dahulu. Maafkan saya."

"Kalau begitu masalahnya, kami dapat memakluminya. Kami tunggu sampai nak Aira siap dan yakin." Putus Ayahnya Arya. "Namun sebagaimana yang nak Aira tau, Arya hanya laki-laki sederhana. Mungkin dia memang belum mapan, tapi in shaa Allah dia memiliki iman yang mampu dijadikan pedoman dalam hidupnya."

Setelah semuanya selesai, Arya dan keluarganya berpamitan untuk pulang, sambil menunggu keputusan Aira nantinya. Arya sudah pasrah pada apapun keputusan Aira. Setidaknya ia sudah berusaha untuk menyampaikan niat hatinya, dengan melamar wanita yang selama ini ia cintai. Mencintai Aira bukanlah kesalahan menurutnya, karena Aira memang pantas dicinta oleh banyak orang. Selain parasnya yang cantik, Aira juga memiliki hati yang baik. Aira bisa merubah dirinya yang dulu tidak yakin akan kemampuannya, hingga kini ternyata ia mampu terus berjalan menapaki kehidupan yang terjal dan penuh liku. Perjalanan hidupnya sampai di tahap ini, tidak lepas dari nasehat sederhana yang pernah Aira ucapkan, seuntai semangat yang pernah Aira berikan, dan seulas senyuman yang selalu terukir di wajahnya.
_____

"Aira, apa yang kamu rasakan saat ini, nak?" Tanya Ibunya, kini mereka sedang duduk berdua dengan santai. Begitu banyak waktu yang mereka habiskan hanya berdua, karena memang dirumah kini mereka hanya tinggal berdua, tanpa Alin.

"Aira nggak tau, Bu." Aira menenggelamkan kepalanya dipangkuan Ibunya. Rasa nyaman membuatnya menjadi lebih tenang. "Aira sama Arya sudah lama berteman dekat. Aira tau, Arya orang yang sangat baik, Bu. Tapi..."

"Kamu tidak mencintainya?" Potong Ibunya.

"Bukan begitu, Bu... Aira nyaman dengan Arya, nyaman sebagai sahabat. Walaupun kini ia tidak selalu ada untuk Aira, tapi dulu, Arya adalah orang yang selalu berusaha membantu Aira dalam segala hal. Dan dia selalu tau apa yang Aira risaukan."

"Terus perasaanmu sekarang, gimana, sayang? Ibu harap apapun keputusanmu nanti, tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari. Mohon petunjuk sama Allah. Dan tanyakan pada hati, apa yang dirasanya."

"Ibu... Emang Ibu sudah siap kalau Aira menikah? Nanti Ibu disini tinggal sendiri. Aira rasanya jadi berat buat ninggalin Ibu."

"Semua orangtua pasti berat melepaskan anaknya, saat anak itu akan menikah, sayang. Tapi kami juga sadar, tugas kami sebagai orangtua saat anak sudah dewasa dan sudah siap untuk menikah, mau tidak mau, kami pun harus ikhlas, sayang... Begitu juga dengan yang Ibu rasakan, sekarang mungkin rasanya berat, tapi seiring berjalannya waktu, in shaa Allah semuanya akan baik-baik saja. Asal nanti kamu jangan lupa saja, disini, masih ada Ibu yang akan selalu merasakan rindu, saat anak-anaknya berada jauh."

"Ibuuuu... Aira sayang banget sama Ibu."

"Ibu juga sayang banget sama kamu, nak... Jadi gimana dengan lamaran Arya?"

"In shaa Allah secepatnya Aira akan jawab, setelah istikharah, Bu."
_____

Sorenya, Aira bersama Ibunya pergi berbelanja, untuk membeli keperluan pokok yang sudah habis di rumah. Sebelum pulang, Ibunya tiba-tiba mengajak Aira untuk mampir sejenak ke sebuah salon yang berada tidak jauh dari tempat mereka berbelanja sebelumnya. Setelah mengantar Ibunya ke salon, Aira memilih mencari kafe untuk tempatnya menunggu sampai Ibunya selesai dari salon. Aira memesan minuman sebentar, lalu duduk di salah satu kursi yang berada paling pojok kafe itu. Ia sengaja menjauh dari keramaian.
Sampai saat matanya tertuju pada satu titik, dimana terlihat olehnya Ali bersama Cindy duduk berdua. Antara meja Aira dan meja mereka hanya terhalang oleh tembok setengah badan dan satu meja di sebelah Aira. Aira bisa melihat mereka dengan jelas, namun sepertinya mereka sedang berbicara serius sampai tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya. Cindy terlihat terus saja bicara seakan menyalahkan Ali, sedangkan Ali terlihat lebih banyak diam dan tanpa semangat.

Disaat Aira sedang penasaran dengan apa yang mereka bahas, tiba-tiba seorang wanita lagi datang menghampiri mereka. Wanita itu hampir mencium Ali, namun Ali menepisnya. Karena rasa penasarannya yang semakin menjadi, Aira mencoba pindah tempat duduk ke meja yang berada di sebelahnya, agar lebih dekat dengan mereka.

"Al, laki-laki sejati tidak akan lari dari tanggungjawab, apalagi setelah membuat janin dalam perut wanita! Sekarang, Sari sudah ada disini. Apa yang ingin kamu katakan, katakanlah, Al!" Ucap Cindy.

"Al, terserah kamu percaya ataupun tidak. Tapi bayi yang ada dalam perutku ini sungguh anakmu, Al! Aku tidak pernah melakukan dengan laki-laki lain. Aku hanya minta pengakuanmu saja, Al. Itu sudah cukup bagiku." Ucap wanita yang dipanggil Sari oleh Cindy.

"Berhenti mengarang, Sari! Kita tidak pernah melakukan hal yang terlarang itu! Dan satu lagi, kita putus sudah dari satu tahun yang lalu. Jadi jangan mengada-ada!" Marah Ali.

"Aku tau kamu tidak akan percaya dengan kata-kataku, dan tidak apa-apa. Jika kamu tidak mau bertanggungjawab, juga tidak mau mengakui anak dalam perutku ini, cukuplah kamu tau saja bahwa ada wanita yang rela menjadi ibu meski tidak diakui oleh laki-lakinya."

"Tidak, Sari. Al harus bertanggungjawab, aku tidak rela kamu menanggung malu dan dosa seorang diri. Aku tau seperti apa hubungan kalian dulu, seperti yang kamu ceritakan itu. Al adalah satu-satunya laki-laki yang sangat kamu cintai, karena itu aku percaya padamu." Cindy tetap ingin Ali bertanggungjawab.

"Tapi kamu lihat sendiri kan, Cindy. Jangankan bertanggungjawab, untuk sekedar mengakui perbuatannya saja, Al tidak mau. Sudahlah, biar aku tanggung sendiri beban ini."

"Tapi, Sari..."

"Stop! Cukup! Kalian benar-benar membuat kepalaku pusing. Berapa kali aku harus menjelaskan, bahwa aku tidak pernah berbuat hal terkutuk itu dengan Sari. Dan Sari, kita sudah lama putus, bisa-bisanya kamu mengarang cerita seperti ini. Aku menyesal pernah mengenalmu. Aku kecewa padamu. Kecewa pada perbuatanmu dan lebih-lebih dengan kebohongan yang kau buat!" Ali bangkit dari duduknya, lalu bergegas pergi begitu saja meninggalkan dua wanita itu.

Aira tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. Ali menghamili wanita, dan tidak mau bertanggungjawab? Atau yang dikatakan Ali malah benar, bahwa semua itu adalah kebohongan yang dibuat oleh wanita yang tidak Aira kenal itu? Seketika tubuhnya terasa lemas tak berdaya, jangankan untuk bangkit dari tempat duduknya, bahkan untuk meneguk air minumnya saja ia tidak punya kekuatan sedikit pun. Aira beristighfar dalam hati, untuk sekedar menenangkan perasaanya yang tiba-tiba terasa sakit dan sesak mendengar berita yang baru saja diketahuinya. Diluar, langit terlihat biru. Namun tidak berarti bagi Aira. Hatinya saat ini terasa dilanda badai yang mampu meluluhlantakkan perasannya.

"Aira..." Panggil seseorang, yang mengagetkan Aira.

*05052018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang