Dua Puluh Sembilan

105 8 14
                                    

Setelah selesai menenangkan Raffa,  meski pada akhirnya malah berbalik, Ali juga yang dapat nasehat dari Raffa. Ali berniat mengungkapkan perasaannya pada Aira, tanpa berpikir tempat dan waktu yang tepat. Karena kata Raffa, niat baik harus disegerakan. Dan Ali ingin menyegerakan niat baiknya. Padahal mereka masih berada di rumah Raffa, dimana ada keluarga Raffa dan juga orangtua Dela.

Ali melihat Aira baru saja keluar dari kamar anaknya Raffa dengan raut wajah lelah, karena seharian ini ia yang bertugas menjaga dan mengurus anaknya Dela, sebagaimana pesan Dela sebelum meninggal. Aira memang tidak tau harus bagaimana merawatnya, karena orangtua Dela juga masih ada, tentu mereka lebih berhak untuk merawat anak itu. Sedangkan orangtua Raffa, mereka sudah lama meninggal. Karena itulah, Raffa dan Dela memilih tinggal di rumah Raffa yang sederhana daripada di rumah Dela yang semuanya serba ada. Dela rela belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk keluarga kecilnya, meski tak jarang ia pun merasakan lelahnya berjuang, di tambah lagi dengan sakit yang hanya ia rasakan sendiri. Namun Dela tetap mensyukuri semua hal yang terjadi dalam hidupnya, karena kehadiran Raffa dalam hidupnya, membuat Dela banyak belajar, dan Raffa pun tidak pernah memberatkan Dela dengan permintaan-permintaannya. Malah sebaliknya, di tengah kesibukannya mengejar ilmu dan bekerja mencari nafkah, masih sempat-sempatnya Raffa membantu pekerjaan rumah yang seharusnya Dela lakukan. Raffa tau, istrinya tidak terbiasa dengan kehidupan yang baru, sebelumnya kehidupan Dela semuanya sudah terpenuhi oleh orangtuanya. Oleh karena itu, Raffa selalu memahami keadaan Dela yang masih dalam tahap belajar.

"Aira, kamu mau... Eh, maksudnya, aku mau... Emmm...." Ali kehilangan kata-kata. Padahal dengan wanita lain, ia selalu punya banyak kata, banyak cara, untuk menaklukkan hati wanita. Tapi kenapa dihadapan Aira, ia jadi mendadak bisu karena gugup.

"Iya Ali, aku mau." Jawab Aira, yang salah mengartikan maksud Ali. Ia bergegas membereskan barang-barangnya ke dalam tas, lalu masuk sebentar ke kamar anak Raffa.

Ali dibuat bingung dan tidak mengerti maksud Aira. Kenapa Aira bilang 'mau', apa Aira tau apa yang ingin ia sampaikan?

"Ayo, Ali." Setelah selesai berpamitan, mereka pun bergegas pulang.

Di tengah perjalanan, Ali menimbang-nimbang akan bertanya atau tidak. Setelah yakin, Ali pun bertanya. "Aira,"

"Iya," jawab Aira, lemah, menahan kantuk yang mulai menyerangnya.

"Tadi kamu bilang mau tuh, mau apa, Ra?" Tanya Ali, hati-hati.

"Mau pulang." Jawab Aira, mulai setengah sadar, matanya juga sudah mulai tertutup.

"Bukan itu maksudku, Ra. Aku tadi mau bilang, kita kan sudah lama saling mengenal, bagaimana kalau kita..." Lidahnya kembali kelu untuk mengatakan maksud hatinya, setelah beberapa kali menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, Ali kembali mencoba bicara, "maukah kamu menikah denganku, Aira?"

Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Aira. Saat lampu merah membuatnya menghentikan laju kendaraannya, Ali beranikan diri menatap kearah Aira. Dan apa yang ia lihat, membuatnya kesal sendiri. Sudah susah payah ia berusaha mengumpulkan kata-kata untuk mengungkapkan isi hatinya, ternyata orang yang diajaknya bicara sudah terlelap dalam tidurnya. Sia-siakah yang ia lakukan? Tidak, Ali tidak menyesal mengatakan itu, ia menganggap semua itu adalah latihan untuk waktu yang lain. Waktu yang tepat untuk menyampaikan niat hatinya.
Ali mengerti keadaan Aira saat ini, tentu sangat lelah. Dua hari di rumah sakit bersama Dela, dan seharian ini Aira juga mengurus anaknya Dela dan Raffa. Apalagi pesan terakhir Dela yang menitipkan anaknya pada Aira. Itu harus bagaimana? Aira yang dapat pesan, Ali yang memikirkan jalan keluar untuk membantu Aira.

"Aira, kamu tau, dari dulu kamu tidak pernah berubah. Selalu membuatku tak mampu mengungkapkan perasaanku, dan hanya dengan lelucon yang ku buat itulah caraku membuatmu selalu tersenyum. Melihatmu tersenyum karena ulahku seakan menjadi penyemangat tersendiri bagiku, Ra. Kamu yang penuh keunikan. Kadang terlihat pendiam dan penyendiri, kadang ceria begitu mudah bergaul dengan banyak teman, kadang kamu lucu dengan tingkah lakumu yang apa adanya. Kamu selalu mampu membuatku bungkam dan menuruti maumu. Kamu juga satu-satunya teman yang aku percaya karena kejujuranmu, berbeda dengan yang lain, mereka lebih sering mengerjaiku dengan kebohongan-kebohongan kecil yang mereka katakan. Tapi kamu tidak, Aira, kamu selalu jujur dan apa adanya." Sepanjang perjalanan, Ali terus saja membicarakan tentang masa lalu mereka sedari kecil dulu, walaupun yang diajaknya bicara entah sudah terlelap sampai dimana.

Sesampainya mereka di pelataran rumah Aira, Ali ragu untuk membangunkan Aira, karena melihatnya tertidur dengan pulasnya. Ali tidak tega membangunkan Aira. "Aira, aku tidak pernah menyesal akan apapun yang menyangkut dirimu. Bagiku semua itu sangat berarti. Karena kamu penting bagiku. Bisakah kita berjalan bersama..." Ucapan Ali terhenti, saat melihat Aira membuka matanya.

"Berjalan bersama, kemana, Ali? Kita sudah sampai ya?" Tanya Aira.

"Iya, Ra, kita sudah sampai."

"Tadi kamu ngomong apa? Maaf aku lelah banget, nggak tau apa yang sedang kamu bicarakan. Samar-samar aku memang seperti mendengar kamu sepanjang perjalanan ngomong mulu, tapi nggak jelas. Ngomongin apa sih, Ali?"

Ali kembali tergagap menjawab pertanyaan Aira, "eng... Nggak penting kok, Aira. Nggak apa-apa. Sengaja biar nggak sepi, jadi ngomong sendiri, hehe.."

"Kamu aneh, Li! Ya sudah, aku masuk dulu. Terimakasih ya, sudah mau nganterin aku." Aira hendak membuka pintu mobil, namun Ali melarangnya.

"Aira, tentang anak Pay dan Dela, apa kamu benar-benar akan merawatnya? Aku ingat, mereka sempat punya rencana pergi ke Istanbul, untuk melanjutkan S2-nya Pay yang dapat beasiswa kesana. Dan sepertinya tidak mungkin jika Pay membawa anaknya."

"Aku nggak tau, Ali. Lihat nanti saja keadaannya bagaimana. Kalau aku nggak bisa tinggal bareng sama si kecil, aku kan bisa tiap hari kesana. Si kecil juga kan sama orangtuanya Dela."

"Iya juga sih, Aira..."

"Sudah malam, lebih baik kamu pulang. Kamu juga pasti capek kan menemani Raffa seharian ini."

"Lebih capek kamu, Aira. Seharian ini belajar menjadi ibu untuk anak mereka.. kamu hebat loh, Ra."

"Ada angin apa kamu muji-muji, Ali? Curiga nih!"

"Tuh kan salah melulu aku dimatamu. Dipuji salah, diperhatiin juga salah, maumu apa sih, Ra?"

"Loh kok malah ngambek sih, Ali? Kayak anak kecil deh! Sudah sana pulang."

"Gimana mau pulang, kamu saja masih betah berada didekatku." Ucap Ali, membuat Aira salah tingkah.

"Iya, iya, aku turun. Hati-hati nyetirnya, jangan sambil ngantuk." Balas Aira, saat sudah turun dari mobil Ali.

Setelah berucap salam, Ali pun pulang. Sedangkan Aira, masih berdiri mematung memperhatikan mobil Ali yang perlahan hilang ditelan kejauhan. Aira mengingat-ingat ucapan Ali di mobil tadi. Memang ada beberapa kalimat yang ia ingat dan membuatnya tersipu mendengar penuturan Ali tentang dirinya. Ia tidak menyangka selama itukah Ali mengingat tentang dirinya, Ali mengingat kenangan mereka, seakan tersimpan rapih dalam hatinya.

Waktu takkan mampu memutar kembali keadaan, namun waktu mampu mengukir kisah baru yang dulu pernah menjadi kenangan...

*04052018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang