Dua Puluh Satu

97 11 22
                                    

Menggenggam asa bersama langkah, saling berpegangan tangan untuk berjalan ke depan...

"Aira, sudah mau hari H, kenapa sih undangannya baru dikirim?"

"Kak Alin lupa sama beberapa temannya ini, De. Lagian juga cuma beberapa doang kok, sudah jangan ngeluh Mulu."

"Gimana nggak ngeluh, orang aku yang juga harus ikut nganterin? Repot kok bagi-bagi." Dela terus saja menggerutu, karena niatnya main ke rumah Aira adalah untuk menenangkan pikiran dan hatinya yang sedang gundah. Namun apa yang ia dapat justru membuatnya lelah. Dela diminta Aira untuk menemaninya mengantar beberapa undangan ke teman Alin. Karena itu pula sepanjang jalan, Dela hanya menggerutu kesal. Yang dibalas oleh Aira dengan senyuman rasa syukur. "Kamu nggak ngerti teman lagi kesel ya, Ra? Malah senyum-senyum lagi!"

"Dela sayang... Aku sedang bersyukur punya teman kayak kamu, walaupun di bibir menggerutu, namun langkahmu tetap mau mengiringi langkahku. Terimakasih ya, De." Ucap Aira, tulus.

"Ahh, Aira... Kamu memang paling bisa bikin suasana hati orang berubah-ubah. Nggak salah aku temenan sama kamu... Coba kalau kamu laki-laki, aku pasti nggak bakal mikir dua kali buat..."

"Buat apa, De? Ingat, aku masih normal ya, dan nggak mau punya teman nggak normal!" Ancam Aira.

"Hahaha, kamu kok lucu, Ra." Dela tertawa geli, membayangkan apa yang tadi sempat terpikir olehnya. "Aku juga normal kali, Aira. Normal banget malah." Lalu Dela mengedip-ngedipkan matanya kearah Aira.

"Idihh, Delaaaaa!"

"Hahahaha."

"Ini undangan terakhir, De." Aira mulai memarkirkan kendaraannya, setelah melihat alamat yang dituju sudah didepan mata.
Aira hendak turun, namun Dela seakan enggan untuk turun. "Kenapa, De?"

"Aku tunggu disini saja ya, Ra." Mohon Dela.

Aira sempat ingin bertanya kenapa, tapi ia urungkan niatnya. Dan memilih berjalan sendiri mengantarkan undangan itu, tanpa Dela.

Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, pintu rumah itu akhirnya terbuka. Memunculkan wajah seseorang yang sedang coba Aira ingat-ingat, dimana ia pernah bertemu dengan orang itu.

Orang itu tersenyum ramah pada Aira, "Aira, kan ya? Silahkan masuk."

"Iya.. maaf, siapa ya?"

"Kamu lupa sama aku? Padahal aku tak bisa lupa loh sama kamu."

Aira terus mengingat-ingat, sampai ia benar-benar ingat. "Beni, bukan?" Tanya Aira.

"Iya, ayo masuk, Aira." Beni mempersilahkan, namun Aira menggelengkan kepala.

"Maaf ya, aku hanya sebentar, mau nganterin ini saja untuk Kak Nia."

"Kak Nia itu Kakakku, Aira. Tapi dia lagi nggak ada di rumah. Apa kamu nggak mau tunggu sampai dia datang?"

"Sekali lagi, maaf ya, Beni. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Di rumah lagi repot."

"Kan istirahat sebentar nggak apa-apa, Aira." Beni terus saja membujuk agar Aira tidak segera pulang.

"Aira!" Panggil Dela, sambil berlari mendekati mereka. "Ayo pulang, bukannya kita masih ada urusan lain." Ucap Dela.

"Dela, kamu juga ikutan? Ya sudah kalau kalian mau langsung pulang nggak apa-apa. Nanti pasti aku datang ke rumahmu, Aira." Beni menatap Aira dengan intens, namun Aira memilih memalingkan wajahnya, sedangkan Dela memperhatikan dengan detail seperti apa kelakuan Beni.

"Ayo, Ra!" Dela menarik tangan Aira, tanpa memperdulikan ada Beni disana. Ia benar-benar kecewa pada Beni, atas semua yang telah dilakukan Beni.

Aira yang tidak mengerti dengan keadaan yang telah terjadi, memilih mengikuti sahabatnya saja. Ia tau, keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Sesampainya didalam mobil, Aira hendak bertanya pada Dela, namun Dela menundukkan kepalanya begitu dalam. Aira jadi mengurungkan niatnya. Ia mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

"Masih belum mau cerita?" Tanya Aira, saat mereka sampai di pelataran rumah Dela.
Dela masih belum berani menatap Aira, apalagi menjawab pertanyaannya. "De... Apa Ali sudah ke rumahmu untuk membantu menjelaskan tentang Beni?"

"Sudah, Ra." Jawab Dela, lemah.

"Terus?" Aira penasaran dengan kelanjutannya.

Dela menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya Dela menceritakan semuanya pada Aira. "Aku harus bagaimana, Ra? Ayahku lebih percaya pada ucapan Beni dan bukti foto aku dan Ali malam itu. Ayah meminta Ali untuk bertanggungjawab atas perbuatan kami yang menurut Ayah telah kelewatan. Dan jika Ali tidak mau, maka perjodohan aku dan Beni akan tetap dilanjutkan... Kamu kan tau, Aira, aku sama Ali nggak punya perasaan apa-apa selain teman, malah lebih sering berantem. Tapi aku juga nggak mau dijodohkan sama laki-laki seperti Beni, Ra. Aku bingung." Air matanya pun ikut luruh bersama cerita yang ia sampaikan pada Aira.

Aira berusaha menguatkan sahabatnya dengan memeluknya erat, mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja, in shaa Allah.

Dela melepaskan pelukan Aira, lalu menatapnya serius, "Aku juga tau, Ra. Antara kamu dan Ali ada rasa yang sama-sama kalian pendam satu sama lain. Cara Ali menatapmu dan caramu bersikap saat ada Ali, itu semua bisa ku baca, Aira. Kalian menyimpan rasa yang sama. Terlepas dari masa lalu yang sama-sama kalian simpan rapat, hingga saat ini pun mungkin kisah itu yang masih kalian dekap."

"Dela, kamu ini bicara apa? Seperti tau segalanya. Kamu bukan Allah yang tau isi hati manusia, De. Jadi jangan berlaga paling tau... Apapun masalah yang saat ini kamu hadapi, ingatlah, aku akan selalu mendukungmu, selama jalan yang kamu pilih adalah jalan yang benar. Bicarakan semuanya dengan Ali, De. Ali mengenal Beni seperti apa, dan semua ini juga telah menyangkut Ali. Jadi coba kalian bicarakan dengan baik, dan pikirkan matang-matang kedepannya, Dela."

"Aira, apa kamu marah padaku karena telah membawa-bawa Ali dalam masalahku? Maafkan aku, Ra, sungguh aku tidak menyangka akan jadi rumit seperti ini."

"Kenapa aku harus marah, Dela? Tidak ada yang tau akan rahasia takdir, De. Jika kita diberi kesempatan untuk memilih takdir kita akan seperti apa, tentu tidak akan ada yang namanya cobaan dan ujian. Bersabarlah, serahkan semuanya pada Allah, in shaa Allah, Allah pula yang akan memberikan jalan keluar terbaik untuk masalahmu."

"Aira... Aku tak pernah menyesal mengenalmu. Sahabat terbaik yang pernah ku temui. Terimakasih, Aira. Jangan pernah berubah ya, Ra.."

"Aku bukan wonder women yang bisa berubah, De... Tenanglah..." Tanpa terasa air mata Aira pun ikut menetes, saat Dela kembali memeluknya. Ia tidak tau harus berbuat apa untuk membantu sahabatnya, hanya sedikit nasehat dan doa yang bisa ia berikan.

Mencari jalan keluar itu lebih baik, daripada mengeluh dan diam di tempat tanpa adanya usaha dan doa...

*23042018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang