"Ali, apa kamu nggak ada niat untuk membantu Dela? Aku nggak tega melihat Dela terkurung dalam rumahnya karena keadaan ini, Li. Kenapa kamu nggak bantuin dia? Tanpa sengaja kamu telah tersangkut didalamnya." Keluh Aira, sudah satu minggu lebih Dela dilarang keluar rumah oleh Ayahnya. Semua aktifitasnya hanya didalam rumah, kuliah pun jadi tidak pernah masuk. Sesekali Aira memang datang ke rumah Dela, namun semuanya telah berbeda. Dela sendiri juga tidak tau harus berbuat apa, Ayahnya memang terlalu keras dalam mendidik Dela, apalagi Dela adalah anak satu-satunya.
"Apa aku harus menikahinya, Aira? Apa itu jalan keluar terbaik?" Tanya Ali. Sudah berulangkali Aira menemuinya untuk membahas tentang Dela. Saat ini mereka memang sering bertemu, karena kini Alin tinggal mengikuti suaminya, yang tak lain adalah Kakaknya Ali. Aira hampir tiap hari datang ke rumah Ali, selain untuk menemui Kakaknya, Aira juga ingin menemui Ali membahas tentang Dela. Ali juga kini sering berada dirumahnya. Tidak seperti dulu, pulang kalau ada perlunya saja. Sekarang, rumahnya adalah tempat ia kembali.
"Jika itu memang pilihan terbaik, kenapa nggak, Ali?"
"Menikah itu juga perlu hati, Aira. Nggak semudah itu."
"Emangnya kamu tega melihat Dela kayak gini, Li? Apalagi kalau dia dipaksa menikah dengan Beni. Aku nggak rela sahabatku menikah tapi tak bahagia."
"Terus kalau nikah sama aku, emang kamu yakin dia akan bahagia, Ra?"
Aira diam. Tidak tau harus bicara apa lagi. Memang benar, Dela menikah dengan Ali belum tentu juga bisa membuatnya bahagia. Tapi jika Dela menikah dengan Beni, akan seperti apa nantinya? "Tapi Beni itu kan jahat, Ali! Aku nggak mau Dela menikah dengannya."
"Aira, mau sampai kapan kita bahas Dela? Tiap kali ketemu, selalu saja masalah Dela yang kamu omongin. Sampai panas telingaku mendengar semua ucapanmu!"
"Maaf..." Ucap Aira, lemah. Ia merasa bersalah pada Ali. Karena memang belakangan ini, ia terlalu memikirkan Dela tanpa tau harus berbuat apa untuk membantu Dela. Dan Ali yang selalu menjadi tempat Aira berbagi pikiran, dengan sabar Ali selalu menjadi pendengar yang baik, walau tak jarang ia pun kesal, karena juga tidak tau harus berbuat apa. Entah mengapa kini Aira merasa nyaman untuk bercerita akan apa yang sedang ia pikirkan pada Ali. Mungkin karena kini status mereka yang telah berubah menjadi saudara ipar, atau mungkin karena hati mereka yang kian dekat. Apapun alasannya, kini mereka lebih sering melewati hari-hari bersama.
"Aku yang minta maaf, Ra. Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya tidak tau harus berbuat apa untuk membantu Dela, Aira. Maafkan aku."
"Nggak apa-apa, Ali. Aku yang salah, begitu sering mengganggumu. Maaf..."
"Jadi terharu lihat kalian, baru beberapa hari jadi saudara ipar sudah sedekat ini. Akur banget. Sampai minta maaf juga bisa samaan gitu ya?" Ucap Alin, usil pada adik-adiknya.
"Kakak, apaan sih." Balas Aira.
"Kakak mau minta dianterin belanja ke pasar. Siapa yang mau?"
"Ya Kak Alin maunya dianter siapa?" Tanya Ali.
"Siapa saja yang mau."
"Sama aku saja, Kak." Ucap Aira.
"Aku juga nggak keberatan kok, Kak." Timpal Ali.
"Ya sudah, kita pergi bertiga saja." Usul Alin.
Sampai akhirnya mereka benar-benar pergi bertiga ke pasar.
_____
Setelah memilih-milih sayur, ikan dan daging di pasar. Aira hendak pulang, tapi ternyata Alin dan Ali juga ikut serta. Alin mengatakan bahwa ia rindu pada Ibunya.Sesampainya di rumah, Aira terkejut melihat Dela sudah berada di ruang tamu rumahnya dengan ditemani Ibunya Aira.
Alin dan Ibunya memilih masuk kedalam rumah, meninggalkan Aira, Ali dan Dela.
"Dela, kamu sudah boleh keluar rumah?" Tanya Aira.
"Sudah, Aira, tapi..." Jawaban Dela menggantung.
"Tapi?" Ucap Aira dan Ali bersamaan.
"Aku kesini mau bilang ke kamu, dan kebetulan ada Ali juga disini." Dela memberi jeda ucapannya, berat rasanya untuk ia melanjutkan kata-katanya. "Aku akan menikah dengan Beni." Lirihnya.
"Dela! Aku nggak setuju!"
"Tapi ini yang terbaik, Ra. Aku nggak mungkin terus-terusan seperti ini, Aira. Aku harus mengambil keputusan, dan inilah keputusan yang aku pilih."
"Bukan dengan mengorbankan dirimu begini, Dela! Itu salah!"
"Apa yang salah, Ra? Bukankah hidup itu pilihan, dan setiap orang berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing, Aira."
Aira memandang kearah Ali, seraya meminta bantuan padanya, "aku nggak bisa berbuat apa-apa, Ra." Ucap Ali, seakan mengerti maksud dari tatapan Aira.
"Ali, hanya kamu yang bisa membantu..." Kata-kata Aira dipotong oleh Dela.
"Bukan Ali, Aira. Tapi hanya Allah yang bisa membantu. Dan mungkin lewat Beni, Allah memberi jalan keluarnya."
"Dela, aku nggak rela kamu disakiti lagi oleh Beni. Bukankah kamu sendiri yang bilang, Beni bukan orang yang baik." Aira masih belum bisa terima keputusan yang diambil oleh Dela.
"Setiap orang punya kesempatan untuk berubah, Aira, begitu juga Beni." Balas Dela.
"Ali..." Panggil Aira.
"Aku..."
"In shaa Allah, aku siap menikahi Dela."
###Coba tebak siapa yang bilang 'siap' itu? Ali atau orang lain? Yang jawabannya benar, dapat hadiah, dapat salam dari Dela 😍
*25042018*
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Senyum Aira
General FictionSenyuman tulus itu tidak hanya terlihat indah dikala bahagia. Namun juga ketika duka menemaninya dan ia terima dengan sabar, lalu ia tersenyum. Menunjukkan pada dunia, bahwa ia mampu menghadapi semuanya...