Tujuh

161 12 5
                                    

Ketika semua anggapan tentangmu berupa perbedaan, namun aku tetap meyakini kau tak pernah berubah. Jangan salahkan aku atas keyakinanku, karena ku percaya setiap perubahan pasti memiliki alasannya...

"Ra, apa kamu mau cerita tentang Al?" tanya Dela yang sudah terlampau penasaran dengan masa kecil sahabatnya itu, namun dari semalam Aira masih enggan untuk bercerita. Sampai pagi ini, sambutan dari Dela tetap sama, bertanya hal serupa. "kenapa kamu nggak mau cerita sih, Ra? Kamu nggak percaya padaku?"

Aira yang sudah bersiap untuk berangkat ke kampus, sejenak berhenti menatap Dela, "bukan masalah percaya atau nggak percaya, De... Hanya saja sepertinya tidak ada yang perlu aku ceritakan tentang itu. Kami hanya pernah berada dalam lingkup yang sama dalam suatu waktu, dan waktu itu telah berlalu, apa masih perlu untuk diceritakan? Padahal, seharusnya tidak ada yang perlu diungkit-ungkit lagi. Seperti kata Raffa kemarin, yang berada dibelakang kadang adakalanya lebih baik digenapkan, bukan dihitung atau diingat."

"aku jadi makin ingin tau, Ra.. Kenapa sih kamu jadi begini? Ah aku lupa kamu memang tak pernah mau berbagi cerita tentang perasaanmu."

"Dela, kenapa kamu jadi penasaran begini sih? Aku memang nggak ada apa-apa sama Ali..."

"udahlah Ra, nggak perlu jelasin apa-apa. Mending cepat berangkat, nanti terlambat kamu!"

"De, kamu marah?"

"nggak."

"iya, kamu marah."

"Dela, Aira, itu didepan ada teman kalian." panggil ibunya Dela dari pintu kamar.

Dela dan Aira akhirnya keluar meski masing-masing masih memilih saling diam. Dela dengan rasa penasarannya tentang masa lalu Aira dan Ali. Sedangkan Aira bingung harus bercerita apa, apalagi Ali seakan berusaha untuk melupakannya. Terus apa yang harus diceritakan? Tentang rindu yang kadang dengan tidak sopannya datang menyapa hati? Atau tentang kenangan yang dengan sengaja masih bersemayam dalam benaknya?

"assalamualaikum..."  sapa Arya dengan senyuman indah dan semangat baru menyambut Aira dan Dela. "Ra, tau nggak...?"

"nggak tau!" potong Dela dengan cepat. Sedangkan jawaban salam Arya, hanya dijawab dalam hati oleh Aira.

"aku kan nanya Aira, bukan kamu, Dela." balas Arya tidak terima.

"ya udah sih." Dela berlalu pergi meninggalkan Aira dan Arya.

"kenapa dia?" tanya Arya.

Hanya gelengan kepala yang Aira tunjukkan sebagai jawaban.

"kamu juga kenapa, Ra? Kalian berantem? Haduh, hal langka ini, jarang-jarang aku lihat dua sahabat yang biasanya sehati sejalan sepemikiran, sekarang saling diam-diaman begini?"

Dan untuk kedua kalinya Arya ditinggalkan, tadi ditinggal oleh Dela, lalu sekarang ditinggal oleh Aira.
Namun niat Aira meninggalkan Arya gagal total, motor kesayangannya tiba-tiba tidak bisa dinyalakan. Sedangkan Arya yang mengikutinya dari belakang tertawa kecil, melihat Aira tidak bisa menyalakan mesin motornya dengan cara manual.

"perlu bantuan?" basa basi Arya, disaat Aira sudah terlampau kesal, karena takut terlambat masuk kelas.

"motorku nggak bisa nyala, Ya." jawab Aira lesu. Apalagi mengingat alat transportasi didaerah tempat tinggal Dela memang tidak ada, harus berjalan cukup jauh untuk menemukannya, dan pastinya memerlukan waktu lama.

Arya mengecek keadaan motor Aira, sebentar saja dia sudah tau apa masalahnya. Mesin starter otomatis motor Aira yang rusak, mengharuskannya menggunakan starter manual dengan kaki, dan pasti Aira tidak bisa melakukannya. Namun bukan Arya namanya jika tidak jahil disaat ada kesempatan untuknya. "Ra, sepertinya harus masuk bengkel nih motornya..." ucap Arya, semakin membuat Aira lemas mendengarnya. Bukan karena ingin mengeluh, tapi cobalah sedikit saja motornya itu bisa diajak baikan, saat seperti ini Aira benar-benar membutuhkannya, kenapa malah mogok? "tapi aku bisa bantu, Ra." tambah Arya dengan semangat.

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang