Enam

185 12 12
                                    

Waktu...
Ketika tiba waktunya,
Apa yang di nanti akan datang
Apa yang di rasa akan sampai
Apa yang di rindu akan jumpa...
Meski keadaan tidak lagi sama,
Semua berubah dan berbeda, hingga membuat kita sulit untuk sekedar bertanya, kenapa?

"akhirnya kamu pulang juga, Ra.. Dari tadi aku nungguin, nggak taunya kamu sekalian shalat isya disana ya?" sambut Dela ketika Aira masuk kedalam rumahnya, "eh, iya, tau nggak Pay udah kembali, besok aku mau jalan sama dia, kamu mau ikut apa gimana, Ra?" cerocos Dela tanpa henti.

"assalamualaikum." bukannya menjawab pertanyaan dari Dela, Aira justru mengucapkan salam, membuat Dela terkikik karena ucapannya sendiri yang langsung menyambut Aira dengan berbagai kata, namun melupakan salam. "jawab aku dulu, Dela!"

"jangan marah gitu dong, Ra.. Jelek tau, hehe," ledek Dela. "iya deh iyaaa... Wa'alaikumsalam, Airaku yang cantik dan baik hati, tidak sombong, rajin menabung, ramah, lu..."

"cukup, Dela!" potong Aira, sebelum semua sebutan diberikan oleh Dela secara cuma-cuma hanya untuk merayu Aira agar tidak marah padanya. "besok aku kan ada kelas, De. Kalau kamu mau pergi, pergi saja, aku nggak bisa ikut."

"yahh, Aira mah gitu, padahal aku pengen banget ngenalin kamu sama si Pay... Bolos dikit nggak apa-apa kali, Ra." bujuk Dela, masih belum menyerah. Namun setelah mendapat pelototan tajam dari Aira, ia malah tertawa kecil, " nggak usah serius gitu mukanya, iya kan cuma ngasih saran, kalau kamu nggak terima ya udah sih, Ra..."

"saran apaan? Pemaksaan malahan."

"kamu kan tahu Ra, Pay itu... Orang yang langka, sulit menemukan orang seperti dia, Ra. Dan aku sangat bersyukur bisa dekat dengannya, walau sebatas teman. Karena aku tau dia sama sekali nggak tertarik padaku, padahal...coba kamu lihat, kurang ku apa sih Ra, sampai Pay nggak bisa melihat aku lebih dari hanya sebatas teman? Aku kurang apa, Ra?"

Aira terdiam sambil memperhatikan Dela lebih dalam, tidak ada yang kurang menurut Aira. Dela cantik, baik juga, ramah iya, perhatian banget, setia kawan, dan masih banyak lagi kebaikan yang Aira tau tentang sahabatnya itu. Namun mengapa Dela bertanya demikian?
Pay... Aira tidak tau siapa Pay yang sering diceritakan oleh Dela itu. Pay, entah itu nama asli atau cuma sebutan yang diberikan oleh Dela padanya. Tapi sejak mengenal Dela, hanya nama itu yang sering kali Aira dengar darinya, satu-satunya nama laki-laki yang begitu familiar di telinga Aira. Siapa sebenarnya Pay?

"Aira! Bukannya jawab, malah melamun!" kesal Dela yang merasa terabaikan oleh Aira, "kita ke taman depan yuk, Ra?"

"ngapain malam-malam ke taman, De?"

"ayolah, Ra... Besok kamu nggak ikut juga nggak apa-apa deh, asal sekarang temani aku ke taman depan saja. Ya Ra, ya?"

Aira menangkap ketidakberesan atas sikap Dela saat ini. Ada apa di taman depan?
Belum sempat Aira berpikir panjang dan mengucapkan apa-apa, tangannya sudah ditarik paksa oleh sahabatnya itu. Mau tidak mau akhirnya Aira mengikuti langkah Dela keluar rumah.

Taman yang tidak begitu luas memang, tapi cukup indah dan tertata rapi hingga membuat pengunjung yang hendak singgah nyaman dibuatnya. Letaknya tidak jauh dari rumah Dela, memang benar-benar di depan rumahnya.

Mereka duduk di salah satu bangku panjang yang ada di taman, sambil memandang langit yang sama, melihat indahnya gemerlap bintang-bintang malam tanpa adanya rembulan.
"Ra, kadang aku mikir, kenapa bintang-bintang malam memiliki cahaya yang berbeda, namun tetap mampu menampilkan keindahan di langit gelap? Kamu lihat deh, sebelah sana bintangnya lebih kecil dari yang di sebelahnya, tapi mereka tetap terlihat indah dengan cahaya mereka masing-masing tanpa membatasi perbedaan cahaya yang mereka miliki. Ajaib ya, Ra?"

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang