Dua Puluh Dua

97 9 17
                                    

Ketika cinta terikat oleh cinta pada-Nya, maka setiap langkah yang dilalui juga atas kehendak-Nya....

Alin dan Andi telah sah menjadi suami istri. Resepsi pernikahan di gelar dengan sederhana dan mengundang teman-teman mereka. Yang paling istimewa bagi mereka adalah teman sekolah yang dulu mengenal mereka, banyak diantara mereka yang tidak menyangka bahwa pada akhirnya Andi menikah dengan Alin. Secara dulu mereka tidak pernah ada gosip saling dekat apalagi berpacaran. Dan sekarang, mereka melihat pemandangan yang indah, sepasang kekasih halal yang baru saja bersatu. Saling tersenyum malu saat bertemu pandang, saling salah tingkah saat bercanda. Dan teman-teman mereka tiada henti menggoda keduanya. Dua orang yang terkenal dengan prestasi, bukan dengan gosip yang tak berarti. Begitulah mereka dikenal oleh teman-temannya, meski mereka tidak satu kelas, karena Andi satu tahun diatas Alin.

"Aira!" Panggil Ali, yang sedari tadi memanggil Aira, namun tidak dipedulikan oleh Aira.
Aira terlalu senang mengabadikan pemandangan indah di depan matanya. Melihat kebahagiaan dimata Kakaknya, mata yang terlalu lama terlihat tanpa cahaya, kini telah bersinar dengan indahnya. Mata yang dulunya seakan tak berpenghuni, kini telah menampakkan pengisi hatinya. Dan Aira tidak mau kehilangan momen bahagia ini. Tiada henti, ia memotret setiap momen berharga itu. Kejadian-kejadian kecil pun tidak lepas dari objeknya.

"Apa sih, Ali? Jangan ganggu aku dulu, bisa ngga!" Balas Aira, yang memang sedari pagi tidak mau diganggu oleh siapapun, kecuali Alin dan Ibunya.

"Lihat aku dulu napa!" Ucap Ali, yang masih tidak mau mengalah untuk pergi. Mau tidak mau, akhirnya Aira melihat kearah Ali. "Duduk disini dulu, Aira."

"Mau ngapain sih, Li?" Meski masih bertanya, tapi nyatanya Aira menuruti ucapan Ali.

"Kita foto bareng." Ucap Ali. Ternyata ia telah mempersiapkan semuanya, ia meminta tolong salah seorang keluarga yang ada disana untuk memotret mereka. "Momen berharga, nggak boleh dilewatkan begitu saja, Aira." Ali mulai bergaya sambil duduk di samping Aira. Aira hendak bangkit, karena tidak mau duduk berdua terlalu dekat dengan Ali, tapi Ali menahan lengannya, "sebentar saja, Ra." Jadilah mereka berfoto berdua sambil duduk sebelahan. Dengan senyum bahagia di wajah Ali, dan senyum kaku karena malu di wajah Aira.

"Sudah." Aira mengakhiri foto tersebut, lalu berjalan menjauh dari Ali.

Aira melihat dari kejauhan, Arya datang bersama seseorang. Mereka berjalan bersama semakin mendekat ke tempat Aira berada. Saat jarak mereka semakin dekat, barulah Aira sadari siapa perempuan yang berjalan bersama Arya. Perempuan itu adalah Cindy, teman Arya, yang beberapa waktu lalu sempat bertemu dengannya. Penampilan Cindy kini telah berubah, ia telah menutup auratnya, meski hanya menggunakan kerudung pendek yang ia lilitkan di lehernya.

"Assalamualaikum," sapa keduanya.

"Wa'alaikumsalam... Cindy, aku sampai pangling loh. Semoga istiqomah yaa."

"Cindy saja yang disapa, Ra?" Tegur Arya.

"Eh ada Arya juga ya? Maaf, maaf, aku nggak tau." Balas Aira, sambil tersenyum.

"Ya sudah deh, aku pulang saja."

"Ihh, Arya ngambekan." Ucap Aira.

"Kalian lucu banget sih." Timpal Cindy. Ia merasa tidak canggung lagi dengan Aira, walaupun mereka baru dua kali bertemu. Aira sosok yang ramah dan humble, membuatnya mudah akrab dengan banyak orang. Tak perduli orang yang sudah ia kenal, ataupun yang baru dikenalnya.

"Silahkan..." Aira mempersilahkan mereka menemui pengantin. Tak mau ketinggalan, ia pun ikut mengantar mereka. "Foto-foto dulu ya!" Ajak Aira. Lalu mereka berfoto bersama.

Setelahnya, Aira mengajak Arya dan Cindy menikmati hidangan yang ada. Sambil ngobrol santai, Arya bertanya tentang Dela yang tidak ia lihat dari awal kedatangannya. "Dela nggak datang, Aira?"

Raut wajah Aira tiba-tiba berubah, "Dela nggak bisa datang, Ya."

Ingin sekali rasanya Arya bertanya lebih banyak pada Aira. Tapi ia sadar, saatnya tidak tepat untuk banyak bertanya di tempat ramai seperti ini.

Aira berpamitan pada Arya dan Cindy untuk menyambut tamu yang lain. Sebenarnya bukan karena itu Aira pergi, tapi ia hanya menghindar dari pertanyaan Arya tentang Dela. Aira ingin cerita pada Arya, tapi apalah daya, disana juga ada Cindy. Tidak mungkin jika dia asal bicara ditengah keramaian.

Arya melihat keanehan dalam diri Aira, ia mencari cara dan kesempatan untuk bertanya lebih pada Aira. Tidak hentinya ia memperhatikan Aira dari tempat duduknya, yang ternyata juga dilihat oleh Cindy.

"Aira bukan sekedar teman, iya kan, Arya?"

Arya tersentak mendengar pertanyaan Cindy. "Maksudnya?"

"Aku bisa melihat semua itu, Arya. Pandanganmu yang tak lepas memperhatikan Aira. Dia perempuan yang istimewa ya, aku saja yang baru dua kali bertemu dengannya sudah jatuh hati padanya. Apalagi kamu yang jauh lebih lama mengenal dia, iya kan?" Pertanyaan Cindy semakin membuat Arya tidak nyaman, sampai akhirnya ia memilih pergi.
Dan Cindy hanya tersenyum melihat tingkah laku Arya. Kini ia baru menyadari siapa sebenarnya Aira. Teman yang lebih dari teman bagi Arya. Tapi ia tidak melihat hal serupa pada diri Aira. Aira terlihat baik pada semuanya, karena itulah Cindy tidak bisa menebak seperti apa hubungan Aira dengan Arya sebenarnya. Hanya Arya yang mampu ia tebak perasaannya, karena begitu nyata terlihat jelas seperti apa cara Arya memperhatikan Aira, bahkan saat Aira berada jauh darinya.

"Aira, sebenarnya ada apa? Dela kenapa?" Tanya Arya, saat ada kesempatan. Aira sedang duduk di kursi samping rumahnya, tidak terlalu ramai. Sepertinya Aira memang sengaja menjauh dari keramaian.

"Ceritanya panjang, Arya. Sulit untuk dijelaskan."

"Tapi kamu janji ya nanti cerita."

"In shaa Allah, Arya."
Lalu mereka terdiam beberapa saat, tidak tau harus memulai pembicaraan dari mana. Terlalu lama mereka tidak bertemu dan tidak pula berkomunikasi. Memang beberapa waktu yang lalu mereka sempat bertemu, namun tidak sempat berbicara banyak hal. "Cindy mana, Arya? Kenapa kamu tinggalin dia sendirian?"

"Lagi makan." Jawab Arya, sambil melihat kearah tempat semula dimana ia meninggalkan Cindy. "Aku hanya ingin tau, kenapa kamu jadi tiba-tiba berubah saat aku bertanya tentang Dela."

"Dela ada masalah, Arya. Masalahnya rumit, aku ingin membantunya tapi tidak tau bagaimana caranya. Aku hanya bisa mendoakan kebaikan untuknya, selebihnya, aku percaya Allah punya rencana yang lebih baik untuknya."

"Dela sehat kan, Ra?"

"Alhamdulillah sehat, Arya."

"Dan kamu sendiri, Ra? Sehat juga kan?"

"Alhamdulillah..."

"Yakin saja, apa yang terjadi dalam hidup adalah atas kehendak Allah, semuanya sudah tertulis menjadi jalan takdir untuk kita, Aira. Kita hanya bisa berdoa, memohonkan yang terbaik."

"Iya, Arya, kamu benar."

Mereka pun terlibat obrolan ringan, sebagai pelepas rindu yang telah lama tak bertemu, bahkan komunikasi lewat telepon pun jarang. Sesekali mereka tertawa, bersenda gurau, sampai melupakan orang-orang yang diam-diam memperhatikan mereka dari kejauhan.

*24042018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang