Sepuluh

144 9 5
                                    

Sapanya tiada terdengar, namun namanya selalu tersimpan...jauh didalam sana, ia selalu ada..

Keramaian pasar pagi ini menyapa Aira dengan berbagai suara, semua pedagang seakan memanggilnya untuk datang menghampiri mereka, namun Aira tetap melangkah mencari apa yang ingin ia temukan. Hari ini Aira sedang libur dari tugas-tugas kuliahnya, dan ia bermaksud ingin memasak sesuatu untuknya dan kakaknya.
Memang hubungan keduanya belum bisa dikatakan baik-baik saja, tapi setidaknya Aira mau terus mencoba untuk bisa dekat dengan kakaknya itu. Aira yakin suatu saat nanti Alin bisa kembali seperti Alin yang dulu, Alin yang selalu menyayanginya. Semoga...

Aira mulai memilih-milih sayuran dan sejenisnya, ia memang tak pandai menawar harga di pasar, berapa yang penjual katakan ya segitu pula yang Aira bayar. Berbeda dengan Alin, dulu setiap mereka ke pasar bersama pasti mereka bisa membeli sesuatu dengan harga yang turun dari penawaran awal, tak jarang sampai setengah harga yang mampu Alin tawar. Mengingat itu, Aira kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala, betapa lucu kakaknya itu, sampai-sampai bisa berdebat dan saling cekcok dengan penjualnya.

"jangan senyum-senyum sendiri, nanti dikira apa-apa loh..." tegur sebuah suara yang Aira baru sadari ternyata ada orang disampingnya.

"Raffa... Kamu kok bisa ada disini?" tanya Aira.

"ini kan tempat umum, Aira.. Nggak ada larangan buat aku datang kesini kan?" tanya balik Raffa.

"iya deh iya, ini tempat umum. Tapi rumahmu kan jauh dari sini, kenapa bisa nyasar kesini?" Aira menyadari sesuatu, "oh iya aku lupa, kamu dari tempat Ali ya?"
Bukannya menjawab, Raffa malah tersenyum mendengar pertanyaan Aira. Kenapa nada suaranya berubah saat mengucapkan nama 'Ali'?
"ada yang lucu dengan pertanyaanku, Raffa?" kesal Aira.

"aku heran saja, Aira, dengan kamu dan Ali. Kalian sama saja anehnya." sahut Raffa, diiringi tawa kecilnya.

"aneh katamu? Apanya yang aneh, Fa?" Setelahnya Aira kembali sibuk memilih-milih bahan makanan yang akan dia beli.
Raffa masih diam menunggu Aira sampai selesai membeli semua kebutuhannya. Lalu setelah melihat Aira berjalan pergi, ia pun mengikutinya.

"Aira..." panggil Raffa, membuat Aira membalikkan badan menghadap Raffa. "kamu punya janji loh padaku... Waktu itu kamu bilang kalau kita bertemu lagi, kamu akan menyampaikan pendapatmu tentang mengingat dan melupakan, kamu nggak lupa kan, Aira?"

"jadi kamu jauh-jauh kesini cuma untuk menanyakan hal ini?"

"nggak gitu juga sih, Ra... Aku memang habis dari rumah Ali. Aku kira Ali ada dirumah orangtuanya, tapi ternyata dia lagi dirumah bunda."

"bunda? Bunda siapa maksudnya, Raffa?" dari kemarin sebenarnya Aira ingin bertanya tentang bunda yang dibahas oleh Ali dan Raffa, karena setahu Aira, Ali memanggil orangtuanya dengan sebutan 'ayah dan ibu' bukan 'bunda'.

"kamu belum tau ya, Ra?" Aira menggelengkan kepala, pertanda ia memang tidak tau. "bunda itu adalah ibu angkatnya Ali, Ra... Dulu sekali, anaknya bunda meninggal dunia dan muka anaknya bunda sangat mirip dengan Ali, makanya sejak mengenal Ali bunda selalu beranggapan bahwa Ali adalah anaknya. Dan Ali tidak keberatan akan semua itu. Ali baik, Ra, dibalik semua kekurangan yang ia tampakkan, sesungguhnya ada kebaikan dalam dirinya yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mengenalnya lebih dekat. Dan kamu salah satunya, Aira."

"aku?" tanya Aira, heran.

"iya, kamu... Udahan bahas Ali, kamu kan punya janji..." Belum selesai Raffa bicara, Aira segera menyahutinya.

"iya, iya, iya, aku ingat kok, Raffa, nggak usah diulang-ulang gitu. Nagih janji kok maksa."
Dan Raffa tertawa kecil mendengar kekesalan Aira.

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang