Tiga Puluh Empat

129 11 4
                                    

"bismillahirrahmanirrahim..." Aira menitikan air mata mendengar ucapan Arya. Ia tidak menyangka bahwa ternyata Arya sampai sebegitunya memikirkan dirinya, memikirkan kebahagiaan dirinya. Arya, laki-laki yang selama ini ia anggap sahabat, yang senantiasa membantunya dalam banyak hal, yang sering mengusik ketenangannya saat ia sendiri, dan ternyata Arya-lah laki-laki yang begitu tulus mencintainya. "Arya, bagaimana mungkin aku tidak bahagia, setelah tau seperti apa kamu memikirkan kebahagiaanku, dengan tulus menyayangiku, dan ikhlas menerima semua keputusanku dengan pilihan yang kamu berikan. Bahagia itu, kita yang ciptakan, Arya, berupa syukur yang senantiasa terjaga. Bukan tentang dengan siapa kita akan bahagia, tapi seperti apa kita mensyukuri setiap karunia dari-Nya dengan siapapun itu."

Arya diam mendengarkan, membiarkan Aira mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya.

"Aku memang sempat ragu saat menerimamu, namun keraguan itu perlahan terjawab lewat istikharah yang aku jalankan, Arya... Satu demi satu Allah tunjukkan kejadian-kejadian yang membuat aku mulai yakin akan keputusanku. Dan sekarang, saat ini, kamu tau apa yang aku rasakan?" Tanya Aira, yang dijawab gelengan kepala oleh Arya. "Terimakasih, Arya. Terimakasih. Kamu dengan keyakinan niat baikmu telah membuktikan bahwa aku tidak salah memutuskan. Pengorbanan dan perjuanganmu menjalani kehidupan sangat berat, aku tau itu, namun kamu mampu tegar dan bertahan hingga saat ini. Di tengah lelahnya kamu menjalani kehidupan, kamu masih sempat memikirkan perasaan orang lain, masih perduli akan kebahagiaan orang lain. Terimakasih, Arya, telah memilihku untuk berjalan bersamamu."

"Semua ini aku lakukan, bukan karena kamu orang lain, Aira. Tapi karena bagiku, kamu adalah bagian dari hidupku. Bagaimana mungkin aku membiarkan orang yang menjadi bagian dari hidupku tidak bahagia, dan aku yang menjadi penyebab ketidakbahagiaannya, Aira..." Ucapan Arya terhenti, saat tiba-tiba mereka melihat Ali dan Alya datang.

"Assalamualaikum," salam Alya, sedangkan Ali memilih diam. Awalnya ia hendak pulang, tapi Alya menahan tangannya untuk tetap berjalan maju. "Kakak harus kuat, ada Alya disini." Bisik Alya di telinga Ali, seolah menjadi penyelamat bagi Ali.

"Wa'alaikumsalam." Jawab Aira dan Arya bersamaan.

"Kita nggak ganggu kan, kak?" Tanya Alya pada Aira.

"Ganggu? Ya nggak dong. Ayo pada masuk." Ajak Aira.

"Kok kita disuruh masuk, kak? Tapi kak Arya nggak. Aku nggak mau ah, kesini juga kan mau ketemu sama kakak."

"Ya sudah, kalau Alya nggak mau masuk, disini saja, sini duduk sama kakak."

"Nggak mau ah, maunya duduk sama kak Arya. Alya kangen sama kak Arya, sudah lama banget nggak pernah ketemu sama kak Arya. Kak Arya kemana saja? Sibuk ya kak?" Berbagai pertanyaan Alya tanyakan pada Arya, kini ia pun duduk dipangkuan Arya dengan manjanya. Padahal sama Ali, yang kakak kandungnya, Alya tidak pernah semanja itu. Entah mengapa, sejak awal bertemu dengan Arya, Alya begitu mudah akrab dan dekat dengannya. Alya merasa menemukan sosok kakak yang penyayang dan penuh perhatian dalam diri Arya, karena itulah begitu mudah bagi Alya untuk dekat dengan Arya. Karena Arya berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya, yang tidak mudah menunjukkan rasa sayang dan perhatian secara langsung, mereka bersaudara memang saling menyayangi satu sama lain, namun cara mereka menunjukan rasa sayangnya berbeda. Berbeda dengan yang Alya rasakan saat bersama Arya.

Ali yang juga berada di tempat yang sama, memilih hanya diam. Kakinya ingin sekali ia gerakkan untuk berbalik dan pulang ke rumahnya. Ia tidak sanggup lebih lama berada satu tempat dengan Aira, disaat semuanya terasa telah berubah. Sesekali Ali memandang kearah Aira, namun Aira terlihat sedang memperhatikan interaksi antara Arya dan Alya. Sudut bibirnya tertarik untuk membagi senyuman, senyuman yang Ali artikan dengan senyum bahagia. Iya, Aira sudah menemukan seseorang yang bisa membuatnya bahagia, bukan hanya membuatnya menunggu tanpa kejelasan, sebagaimana yang ia lakukan selama ini.
Tanpa sadar, Ali pun ikut tersenyum melihat senyuman Aira.

"Kalian kenapa nggak pada masuk?" Ibunya Aira keluar dan terkejut melihat ternyata banyak tamu didepan rumahnya, "Aira, tamunya kenapa dibiarkan di luar saja?"

"Iya nih, Bu, mereka nggak mau masuk. Aira sudah mempersilahkan, tapi mereka nggak mau." Jawab Aira.

Belum sempat Ibunya Aira berkata lebih banyak, tiba-tiba terdengar suara adzan maghrib, membuat semua tamunya berpamitan. Arya berpamitan ke masjid, kemudian akan langsung pulang. Begitu juga dengan Ali dan Alya.
Sebenarnya Ali punya niat lain ke rumah Aira, yaitu untuk memberitahukan Aira tentang kebohongan Sari, tapi semua itu tidak jadi ia sampaikan. Melihat Aira tersenyum bahagia, sudah cukup bagi Ali. Ia merasa berita yang ingin ia sampaikan tidak akan merubah keadaan. Aira sudah bahagia, lalu untuk apa ia katakan apa yang tidak ada sangkut pautnya dengan Aira, lebih baik ia urungkan saja niatnya.
______
"Ali." Panggil Arya, selepas shalat. Mereka shalat di musholla yang sama, dan saat melihat Ali akan pulang lebih dulu, Arya memanggilnya. "Bisa bicara sebentar?" Tambahnya.

"Di luar saja." Saran Ali, lalu berjalan keluar dari musholla itu, diikuti oleh Arya dibelakangnya.

"Maaf..." Ucap Arya.

"Untuk?" Tanya Ali.

"Semuanya... Aku tau kamu juga menyukai Aira, aku bisa melihat itu. Aku juga sempat memberikan pilihan pada Aira untuk memikirkan kembali, ingin melanjutkan pilihannya atau memilihmu..." Sejenak Arya melihat kearah Ali, yang mulai fokus memandang kearahnya dengan serius. "Bukan tanpa alasan aku melakukan ini, semua ini semata karena aku tidak mau Aira kelak menyesal dengan pilihannya memilihku."

"Tapi Aira sudah sangat yakin dengan pilihannya itu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku cukup sadar diri kok, aku bukan laki-laki terbaik untuknya. Aku tidak pantas berharap lebih padanya. Di masa lalunya mungkin memang hanya aku laki-laki yang paling dekat dengannya, tapi semua itu dulu. Sedangkan sekarang, kamulah satu-satunya yang paling pantas untuk bersamanya."

"Ali, aku yakin kamu juga akan menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari Aira, seseorang yang terbaik untukmu, seseorang yang akan menjadi takdirmu. Yakinlah akan hal itu."

Ali tidak menyahuti ucapan Arya, ia hanya tersenyum tulus dalam diamnya.

"Kenapa?" Heran Arya.

"Aira memang beruntung banget bisa dicintai oleh laki-laki sepertimu. Eh tidak, tapi Aira sangat beruntung karena dicintai oleh kita." Ucap Ali, sambil menepuk-nepuk punggung Arya. Membuat Arya juga membalas senyum Ali.
Dan setelahnya mereka berbicara kesana kemari seperti sepasang sahabat. Bersahabat karena keadaan. Keadaan yang membuat mereka saling memahami. Mencintai satu orang yang sama, dan memiliki tujuan yang sama, yaitu membahagiakan orang yang mereka cintai. Cinta itu suci, tidak perlu dinodai dengan rasa saling membenci, hanya karena tidak mampu memiliki.
Meskipun pada kenyataannya, tidak semua orang mampu menerima, ketetapan takdir yang menjadi jalannya. Hanya mereka yang memiliki hati yang tulus, yang mampu menerima dengan ikhlas, merelakan dengan cara mendoakan, karena itulah bentuk mencintai karena Allah. Jika belum mampu menikahi, harus rela melepasnya pergi dengan yang lebih berani memberi ikatan suci.

Kamu bukanlah sumber cahaya yang selalu menerangi jalanku, tapi kamu adalah satu diantara bintang-bintang yang mau memberikan kilaunya untuk terangi selintas jalan yang ku lalui...

*21052018*

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang