Tiga Puluh Satu

114 10 30
                                    

"Aira..." Panggil seseorang, yang mengagetkan Aira.

Cindy berjalan mendekati Aira sambil membawa temannya, Sari.

Aira yang tadinya terdiam hanya mampu membalas panggilan Cindy dengan senyuman.

"Kamu dari tadi disini? Apa kamu mendengar apa yang kami bicarakan tadi?" Tanya Cindy. Lalu duduk bersama Aira dan mempersilahkan Sari duduk didekatnya juga.

"Maaf, aku nggak bermaksud untuk..." Aira bingung mengatakan bahwa sebenarnya ia memang sengaja pindah tempat duduk karena penasaran.

"Nggak apa-apa kok, Ra. Semua orang yang ada disini juga bisa saja mendengar pembicaraan kami tadi, termasuk kamu. Oh iya kenalin, ini Sari, temanku. Dan Sari, ini Aira temanku juga." Cindy memperkenalkan keduanya.

"Sari."

"Aira."

"Aira, kamu sama Al kan saudara ipar, apa boleh aku minta tolong?" Tanya Cindy.

"Apa, Dy?" Aira ragu untuk mengiyakan.

"Kamu kan sudah mendengar semuanya. Apa kamu mau membantu kami, untuk menasehati Al agar mau bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, Ra. Aku mohon. Kasihan Sari, harus menanggung semuanya seorang diri... Aira, aku mohon." Cindy mengiba, membuat Aira tidak tega untuk menolak permintaan Cindy.

"Aku tidak bisa janji, Cindy. Tapi in shaa Allah aku akan berusaha bicara dengannya." Ucap Aira, pada akhirnya. "Maaf, aku pamit pulang duluan ya, mau menjemput Ibu di salon." Setelah berpamitan, Aira pergi meninggalkan Cindy dan Sari yang sebenarnya masih ingin berbincang lebih banyak dengan Aira.
______
"Kamu kenapa, sayang? Ibu perhatikan dari pulang tadi kamu terlihat murung dan tanpa semangat gitu?" Tanya Ibunya, yang sadar akan perubahan sikap putrinya.

"Nggak kenapa-napa kok, Bu." Jawab Aira, setenang mungkin.

"Gimana sudah punya jawaban untuk lamaran Arya, nak?"

"In shaa Allah, Bu."

"In shaa Allah apa?" Tanya ulang Ibunya, penuh semangat.

"In shaa Allah, Aira menerima lamaran Arya, Bu."

"Alhamdulillah... Akhirnya anak kecil Ibu, mau nikah juga." Ibunya langsung memeluk Aira dengan penuh rasa haru.

"Aira bukan anak kecil, Bu." Protes Aira.

"Tapi bagi Ibu, kamu tetaplah anak kecil, sayang... Nanti Ibu akan langsung menghubungi orangtua Arya untuk menyampaikan jawaban dari lamaran mereka." Ibunya hendak mengambil ponselnya, namun dilarang oleh Aira. "Kenapa, sayang?"

"Ini sudah malam, Bu. Takut mengganggu mereka. Nggak baik telepon malam-malam, Bu."

"Iya ya, Ibu lupa... Saking bahagianya sampai nggak lihat waktu. Nanti kamu mau resepsi seperti apa, nak? Terus akad nikahnya mau di rumah apa di masjid? Terus...." Ucapan Ibunya dipotong oleh Aira.

"Bu... Aira ngantuk. Sudah ya, nanti saja bahas yang lain-lainnya." Pinta Aira.

"Ya sudah nggak apa-apa, tapi malam ini Ibu mau tidur sama kamu, nggak apa-apa kan, nak?"

"Ibu kok jadi begini sih?"

"Ibu pengen lebih sering bareng kamu, sebelum kamu diambil orang, sayang."

"Tuh kan Ibu mulai lagi..."

"Iya, iya, nggak deh, Ibu nggak ngomong kayak gitu lagi. Ibu senang lihat kamu mau nikah, sayang.. sungguh."

"Terimakasih ya, Bu. Sudah menjadi Ibu terbaik untuk Aira dan kak Alin."

"Ibu yang terimakasih karena kalian masih mau menerima Ibu setelah kepergian Ibu yang begitu lama."

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang