Tiga Puluh Dua

114 10 19
                                    

"Aira mau menikah, aku dapat masalah suruh tanggungjawab atas apa yang tidak aku lakukan, dan sekarang kamu tega Pay ninggalin aku ke Istanbul?" Ali meratapi nasibnya, disaat ia merasa berada dititik terberat dalam hidupnya, sahabat yang ia jadikan penguatnya dalam melangkah, malah berniat pergi meninggalkannya. Ali tau, keadaan Raffa juga sedang tidak baik-baik saja, istrinya baru saja meninggal, lalu anaknya masih bayi, pilihan yang berat juga buat Raffa meninggalkan anaknya yang masih sangat kecil. Tapi bagaimana pun juga, Raffa harus kuat, ini juga demi masa depan anaknya kelak, dan cita-citanya mengejar ilmu setinggi-tingginya, apalagi ini adalah program beasiswa yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.

"Maafkan aku, Al. Aku juga berat mengambil keputusan ini. Tapi kamu tau sendiri kan, dari dulu ini termasuk dalam mimpiku. Seseorang seperti aku, yang bisa sekolah hanya dari beasiswa hingga kuliah. Dela juga sangat bahagia saat tau aku dapat beasiswa S2 di Istanbul, bagaimana mungkin aku tega membuat bahagianya hilang begitu saja bersama kepergiannya. Al, aku yakin kamu bisa tanpa aku. Jika memang Aira jodohmu, akan selalu ada jalan untuk menyatukan kalian. Begitu juga  sebaliknya, seberapa pun kamu mengejar, takkan pernah kamu sampai, jika dia bukan jodohmu."

"Aira jodoh orang lain, Pay. Buktinya dia sudah akan menikah dengan orang lain, bukan denganku."

"Dan masalah Sari, aku yakin akan ada jalan keluar terbaik untukmu. Jangan putus berdoa ya, Al. Oh iya, sering-sering datang kesini, meski tidak ada aku, tapi ada Deffa yang akan sering merindukan Om-nya."

"Deffa. Singkatan namamu dan Dela ya, Pay? Bagus juga."

"Iya, benar. Biar aku selalu ingat ada perjuangan yang begitu besar dari Dela untuk bisa memberikan hadiah terindah dalam hidupku, Al."

"Hadiah terindah, tapi kok tega ditinggalkan begitu saja."

"Al, kelak kamu pasti akan mengerti, jika sudah merasakan seperti apa rasanya menjadi seorang ayah. Apapun akan berusaha kamu berikan untuk anakmu nanti."

"Tapi bukan dengan berpisah jauh, Pay!"

"Untuk sementara saja, Al."

"Terserah kamu lah, Pay, ngomong sama kamu, aku selalu kalah."

Raffa tersenyum membalas ucapan Ali. Sampai mereka mendengar suara salam di pintu rumahnya, mereka sangat hafal suara itu.

"Ayo keluar!" Ajak Raffa. Ali menggeleng kuat, ia tidak berani untuk keluar dari kamar Raffa, menemui tamu itu. "Al, temui dia. Selalu ada alasan kenapa kamu dipertemukan dengannya, hadapi setiap masalah yang ada, Al. Bukan menghindar dan menjauhi."

Tanpa banyak bicara lagi, Ali mengikuti langkah Raffa. Mereka keluar menemui tamu yang datang. Terlihat oleh mereka pemandangan yang indah, Aira sedang menggendong Deffa, sambil bercanda dengannya. Disampingnya ada Ibunya Dela yang menemani mereka.
Rencananya, setelah Raffa pergi melanjutkan kuliahnya, bayi itu akan dibawa oleh orangtua Dela dan tinggal bersama mereka. Sedangkan rumah Raffa, kemungkinan akan disewakan untuk sementara waktu, selama Raffa tidak ada.

"Aira, apa kabar? Lama nggak kesini, dicariin tau sama Deffa." Sapa Raffa.

"Alhamdulillah baik, Fa. Baru dua hari saja nggak kesini, kamu bilang lama? Aku bawa pulang saja ya, Deffanya." Balas Aira.

"Bawa saja, Aira... Buat kamu belajar jadi ibu yang baik. Lagian juga anak ini bakal ditinggal oleh ayahnya." Celetuk ibunya Dela.

"Ibu... Aku pergi untuk kembali kok, aku pergi untuk Deffa juga." Raffa membela diri.

"Iya Ibu mengerti. Tapi..." Ucapan Ibunya Dela dipotong oleh Aira.

"Ada Aira yang akan membantu Ibu merawat Deffa, in shaa Allah, Aira akan sering ke tempat Ibu."

Seindah Senyum Aira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang