07

102 6 2
                                    

"Hedya. Tungguin dong. Elah cepet amat, darl, jalannya," kata Sean dengan suara kencang sambil menyejajarkan langkahnya dengan Hedya. Yang otomatis langsung mendapat tatapan dari beberapa murid disana.

"Ih apaan sih, Kak Hedya. Tadi pagi sama anak baru, sekarang dia sama Kak Sean."

"Iya ih."

"Dasar cabe. Ama cowok manapun mau."

Lelah mendengar cibiran-cibiran tersebut, Hedya lebih memilih berlari ke halaman belakang sekolah tanpa mengindahkan teriak-teriakan Sean yang memanggil namanya.

Hedya duduk di bawah pohon yag lumayan rindang dan menutup matanya sejenak. Ingin merilekskan diri. Dia juga butuh istirahat. Setelah pusing karena jadwal basket, terus masalah Yovan, dan bekum lagi menjadi guru matematika sementaranya Sean.

Byur

Dalam sekejap, baju Hedya sudah basah dengan bau yang tidak enak. Kayaknya air bekas cuci piring di kantin. Kemeja putihnya menjadi sedikit transparan karena siraman air tersebut.

Hedya meringis dan menatap orang-orang di depannya. "Apa sih lu? Gue gak nyari masalah sama lu. Kenapa lu malah nyirem gue?" Setenang mungkin Hedya mengeluarkan suaranya.

Cewek yag tadi menyiramnya itu maju selangkah dan mendorong Hedya dengan telunjuknya. "Elu udah buat masalah sama gue. Mau tau masalahnya apa?"

"Gak. Gue gak mau tau. Minggir." Hedya berniat untuk melewati kepungan cewek-cewek centil itu yang dikenal nya dengan nama, Farah, Dessy, Kayla dan si ketua geng, Pretta.

Tapi tubuhnya lagi-lagi didorong oleh Farah dan Dessy. "Mau kabur kemana? Pegang dia yang erat."

Plak!

Satu tamparan melayang ke wajah putih Hedya. Membuatnya meringis.

"Anjir! Sakit! Lu ngapain nampar gue, cewek gatel?!" Bentak Hedya.

Pretta menyengir kuda. "Itu karena lu udah sok-sokan jadi cewek sok jual mahal."

Plak!

"Itu karena lu tadi pagi kecentilan sama Yovan."

Plak!

Hedya sudah menutup matanya mnunggu tamparan selanjutnya. Tapi setelah bunyi tamparan tersebut, ia tidak merasakan apa-apa.

Ia membuka matanya dan menganga. "Se-Sean? Lu ngapain?" Dia terlihat seperti orang bodoh.

Sedangkan Pretta menciut karena tamparannya terkena wajah Sean. "Sakit, ya, Beb?" Pretta berangsur untuk memegang wajah Sean, tapi langsung ditepis kasar tangannya oleh Sean.

"Jangan nyentuh gue dengan tangan kotor lu itu. Ngapain lu pake nampar Hedya?! Hah?! Jawab!" Emosinya sudah memuncak, apalagi saat Hedya ditampar.

Pretta semakin menciut. "Gak-gak-gak apa-apa." Ia tak berani menatap Sean. Seakan-akan dengan tatapan Sean, ia bisa terbunuh.

"Jangan pernah lu ganggu Hedya lagi, kalau mau hidup lu tenang disini. Ngerti lu?" Pretta mengangguk kaku.

Sean melepas jaketnya dan memakaikannya pada Hedya. Sebelum menggendong Hedya dipelukannya, dia memberi pesan terlebih dahulu pada Melina untuk membawakan baju ganti ke kamar mandi lapangan basket.

Sean tidak berkata apa-pa selama perjalanannya menuju ke kamar mandi. Sedangkan Hedya? Hedya begitu terkejut sehingga ia terdiam.

Sean mendudukkan Hedya di kursi dulu dan berjongkok di depannya. "Hed," panggilnya.

Bukannya menjawab, Hedya malah menundukkan kepalanya.

"Hed," panggilnya lagi.

Tidak ada sahutan.

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang