10

106 5 0
                                    

Keheningan melanda ruangan keluarga kediaman Pradipta. Setiap kepala yang ada disana bersitegang, duduk dengan tubuh yang tegap, rahang yang tegas, dan wajah yang datar tapi tegas.

"Kenapa kalian kembali?"

Suara dingin Livia menginterupsi, mengisi keheningan yang mencekam sedari tadi. Johan dan istrinya, Linda, tersenyum. "Mama. Mama jangan seperti itu dong. Johan kan anak Mama, Linda menantu Mama. Masa ngomongnya kayak gitu sih," katanya masih dengan senyuman di wajahnya.

"Jawab saja." Mendengar nada dingin Livia yang tidak berubah, sukses membuat senyuman di wajah Johan dan Linda luntur.

Johan merefleksikan tubuhnya dan bersandar di sofa. "Tentu saja untuk bertemu anakku." Ia tersenyum pada Nevan yang langsung dijawab decihan oleh Nevan.

"Anakku? Anakku?" Johan mengangguk.

"Ya, ada apa, Nevan? Memang kamu bukan anak kami?"

"Anakku? Kalian punya dua orang anak dan kalian hanya bilang 'anakku'? Seharusnya kalian berkata 'anak-anak kami' bukan hanya 'anakku'. Apa kalian tidak pernah menganggap Hedya? Dia anak kalian juga," kata Nevan sambil menahan emosi yang sudah membuncah didadanya. "Bahkan ini sudah 16 tahun dan kalian-- Astaga." Dia sudah kehilangan kata-kata menghadapi kedua orangtuanya ini.

Livia bahkan juga tidak bisa berkata-kata lagi. Nevan sudah kehilangan kata-kata sopan untuk kedua orangtuanya. Ia tak bisa bicara dengan halus. Yang ia inginkan sekarang hanya mengirim kedua orangtuanya ke planet lain, memeluk Hedya, dan tinggal bersama Livia serta Hedya.

Johan mendecih. "Apa kamu tidak diajarkan sopan santun di sekolah? Bagaimana bisa kamu bicara dengan orangtua mu dengan kata 'kalian'? Kami ini orangtuamu. Ini ibumu yang melahirkan mu, dan aku ayahmu yang sudah membesarkanmu."

Nevan tersenyum miring. "Hell ya. Jangan melucu. Dia memang yang melahirkanku. Dan anda memang yang membesarkan saya, tapi, hanya sampai umurku 7 tahun. Setelah itu? Saya dan Hedya pindah kesini, tanpa kalian. Jadi yang membesarkan saya sampai sekarang adalah Oma. Bukan kalian," geram Nevan. Ia mengepalkan tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Livia sudah bisa merasakan aura dingin Nevan yang sudah lama tidak ia keluarkan.

Livia menggenggam tangan Nevan guna menenangkan Nevan. "Jadi, jangan pernah membawa kata-kata itu pada saya," tegasnya.

Johan dan Linda tidak bisa berucap apa-apa. Tapi mereka tidak merasa salah sama sekali. Karena itu keinginan Nevan untuk pindah dan tinggal dengan Livia. Jadi bukan salah mereka kalau itu. Bukan dengan sengaja mereka mengirimkam Nevan kesini. Kalau Hedya, memang sengaja. Mereka tidak menyukai keberadaan Hedya disini, di keluarganya.

Dan itulah yang membuat Nevan kecewa dengan kedua orangtuanya.

"Saya tidak ingin melihat wajah kalian disini. Jadi, silahkan--"

Ucapan Nevan terputus saat suara Hedya menginterupsi ruangan. "Ngapain kalian disini?" tanyanya dengan penuh penekanan. Senyum yang tadi hadir di wajahnya, sekarang sirna.

Johan dan Linda tersenyum miring melihat anaknya, Hedya. "Ho. Si anak yang tidak diinginkan sudah datang. Apa kabar?" sarkas Linda.

Nevan sudah bangkit berdiri hendak melindungi Hedya saat Hedya melotot kearah kakaknya, seperti berkata -gue-bisa-sendiri-, maka Nevan duduk kembali.

"Kabar saya baik. Tolong, saya mau istirahat, jadi, kalian tau kan dimana pintu keluarnya?" Hedya mengukir senyum miring di wajahnya. "Silahkan."

Johan dan Linda mendengus dan pergi keluar tanpa bilang apa-apa, bahkan pamitpun tidak. Hanya pergi begitu saja.

Begitu Johan dan Linda menghilang, Hedya langsung terjatuh di lantai. Kakinya sudah seperti jeli sedari tadi, tapi ia tahan agar tidak jatuh, dan begitu orangtuanya pergi, ia tak dapat menahan tubuhnya lagi. Ia terisak. Ia dengan semua yang tadi Nevan, Livia dan kedua orangtuanya perbincangkan.

Begitu melihat adiknya jatuh dilantai dan menangis, Nevan langsung merengkuh adiknya dan membawanya kedalam pelukan. Ia mengelus rambut adiknya, menenangkannya.

"Udah, Dek. Jangan nangis lagi."

##

Ingin tau nilai matematika Sean? Ya, dia tidak jadi dihukum, karena nilainya berbeda satu diatas Hedya. 83. Hebat, kan?

Dan sekarang, mereka sudah melewati ujian akhir semester satu, rapotpun sudah diambil.

Sudah 3 minggu sejak Johan dan Linda datang, hingga sekarang kedua orangtuanya itu tidak keliatan batang hidungnya lagi di rumahnya.

"Akhirnya!!!! Besok libur juga astaga!" Pekikan Reno di telinga Hedya membuat Hedya meringis karena sakit di telinganya.

Pletak!

Reno meringis karena kepalanya dipukul Hedya dengan buku catatan Fisika. "Sakit bedon, Hed. Gile tenaga badak."

"Bodo amat. Mel, Rel, kantin gak?" ajaknya yang langsung diangguki oleh Melina dan Aurel.

Sedangkan Sean, Ion dan Brian tengah bersenda gurau di barisan paling belakang. "Yan. Bri. Liburan lu kemana?"

"Gue udah ada diajak liburan keluarga nih. Malesin banget orangtua gue. Maksa," kata Brian, lalu mendengus.

Ion dan Sean terkekeh. "Woi. Diajak liburan masa bosen sih odong. Orang mah seneng kali. Ya gak, Yon?"

"Yoi. Emang lu liburan kemana dah?"

"Belum tau. Gak dikasih tau sama mereka. Mana ngajak tuh cewek lagi. Kacau dah liburan gue," jawab Brian sambil memikirkan liburannya yang akan kacau balau tahun ini.

Sean dan Ion tau pasti cewek yang dimaksud Brian. Dan yang pasti, Brian tidak suka dengan keberadaan cewek itu. Bahkan dari mereka kecil. Memikirkan Brian yang akan menghabiskan liburannya tahun ini dengan cewek itu, membuat Sean dan Ion tertawa terbahak-bahak.

"Dasar ye. Punya temen kampret semua. Bukannya kesian gitu sama gue, malah diketawain. Ketawanya kenceng-kenceng lagi. Dasar kampret, kampret. Udeh ah. Gue duluan. Males sama kalian."

"Yeh, Yon. Si Brian ngambek lagi masa. Woi, Bri. Ngambek najis dia." Sean dan Ion tidak berhenti tertawa bahkan setelah Brian pergi entah kemana.

Kalo dipikir-pikir, pasti dari tanggal 20-23 Desember, orangtuanya akan mengajaknya pergi ke liburan dan tanggal 24 nya akan ke gereja untuk merayakan natal. Jadi, tanggal 25 Desember, Sean masih bisa mewujudkan keinginan Hedya lagi. Ini adalah kesempatan yang bagus. Memikirkannya saja ssudah membuat Sean senyum-senyum sendiri. Yang tentu saja membuat Ion terheran-heran melihat temannya ini.

Ion memukul bahu Sean dan berkata, "Woi. Nape lu senyam-senyum gitu?"

"Gapapa. Gue duluan ye. Bolos. Dah, Yon," katanya meninggalkan Ion.

Dan sekarang Ion sendirian, walau sebenarnya masih ada anak-anak lain di kelasnya, tapi kan dia ditinggal oleh teman-teman karibnya. "Woi, Yan. Yah elah. Masa gue sendirian sih. Ah, Brian mana lagi. Moga dia gak bolos dah."

26 December 2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

26 December 2016

Selamat natal semuaaanya bagi yang merayakan. Tau kok telat ngucapinnya, maap wkwk

Maap juga telat update wkwk

Happy reading guys, jangan lupa buat vomment yaa. Makasihhh muah muah

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang