Hedya memberikan helmnya pada Sean dan langsung ngacir masuk ke rumahnya. Tak berkata apa-apa lagi pada Sean. Sean terkekeh dan pulang.
"Woi, bocah. Sini lu," panggil Nevan. Hedya mencebikkan bibirnya.
"Apaan?" tanyanya malas.
"Abis kemana lu? Baru pulang jam segini. Bukannya kasih kabar, si Oma ampe panik tau gak, lu gak pulang dari tadi siang. Kasih kabar kek kalo mau kemana gitu," omel Nevan sambil menjitak kepala adiknya itu.
"Iya-iya. Maap. Gue tadi abis jalan sama Sean-"
"Hah? Lu bisa jalan sama cowok juga, Hed?" ledek Nevan pada adiknya itu. Karena selama ini, Hedya tidak pernah mau yang namanya pergi sama cowok. Engga setelah kejadian 3 tahun yang lalu.
Hedya mendelik dan berkata, "Gak suka aja lu, Kak. Udah gue mau ke kamar dulu. Dah."
Selesai ganti pakaian, Hedya memilih untuk tidur. Hari ini sangat melelahkan baginya.
Kilasan balik mulai terputar di dalam kepalanya. Mulai saat Sean yang mengingatkannya kalau mereka ada jaji berdua, ditarik ke parkiran motor, di taman, bahkan saat tadi dia diantar pulang.
Dan ingatannya terpaku pada saat Sabrina, si anak kecil yang malang, dipukul dan diomeli Mamanya. Hedya tak habis pikir, kenapa bisa ada ibu yang seperti itu.
Flashback on.
Hedya kecil menarik-narik ujung kaus yang dipakai oleh kakaknya itu. Nevan menoleh ke bawah untuk melihat adiknya. "Kenapa?"
"Kakak, Hedya bosen," katanya pelan sambil menunduk.
"Yauda, kita pergi ke taman bermain saja, mau?" ajak Nevan. Mendengarnya, Hedya yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya dan menatap kakaknya dengan mata yang berbinar.
"Benarkah?" Nevan mengangguk.
Tapi, Hedya langsung menunduk lagi, membuat Nevan bingung. "Kenapa, Hed? Tadi bukannya seneng?"
Hedya menggeleng pelan. "Engga. Hedya gak jadi bosen deh, Kak. Nanti kalo Hedya bosen, terus kita pergi ke tempat bermain, Hedya dipukul Mama lagi," lirihnya sembari memainkan jarinya.
"Gak apa-apa. Nanti Kakak minta ijin dulu ya ke Mama. Kamu tunggu sini." Nevan berjalan kearah Mamanya yang tengah sibuk bercengkerama dengan teman lamanya di belakang mereka.
Mereka sedang duduk di cafe, menemani ibundanya yang sedang bertemu teman lamanya. Hedya dan Nevan duduk di kursi belakang Mamanya. Jadi mereka hanya dibatasi oleh kursi. Beda meja.
(Ngerti kan ya? Hihi)
Tak lama, Nevanpun kembali. "Ayo, Hed."
Hedya menggandeng tangan kakaknya sambil tersenyum. Keluar cafe dan berjalan ke taman bermain tidak memakan waktu yang lama. Karena lokasi tamannya tidak jauh dari cafe tadi.
Banyak anak-anak yang bermain disana, ditemani oleh orangtuanya. Garis bawahi kata orangtuanya. Ya, bersama Ayah dan Ibu. Hari ini adalah Hari Libur Nasional. Seharusnya Nevan dan Hedya juga seperti itu. Tapi, ayahnya lebih memilih untuk terbang ke Australia untuk meeting dadakan disana.
Hedya hanya bisa teraenyum pahit melihat banyaknya keluarga bahagia yang ada disana. "Hed?" Hedya menoleh.
"Katanya mau main. Ayo kita main." Hedya mengangguk mantap.
Mereka berdua bermain dengan senyuman bahagia yang tertera di wajah mereka.
Hingga mamanya datang, dan memukuk Hedya. "Kamu ini! Memang kamu sudah besar hah? Main pergi seenaknya saja. Kamu tau gak kalo kamu bisa hilang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Fiksi RemajaSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...