08

132 6 3
                                    

Hedya mengetuk-ketukkan kakinya di lantai, bosan menunggu Sean yang sedari tadi belum keluar juga. Sean sedang dimarahi oleh salah satu guru mematikan di sekolahnya karena persoalan di kelasnya tadi.

"Beb!" Hedya langsung menoleh dan mendengus.

Pletak!

Sean meringis begitu mendapat pukulan Hedya di lengannya. "Apasih, Hed. Ilah, galak amat. Baru juga dateng aku. Udah dipukul aja. Mendingan dicium deh daripada dipukul." Mendengar Sean berkata seperti itu lagi, Hedya sudah ambil ancang-ancang untuk memukulnya lagi. Tapi ia tahan, Hedya memilih menurunkan tangannya, menarik nafas dan membuangnya secara perlahan.

"Buruan. Gue cape. Mau belajar gak?"

Gemas karena ucapan Hedya yang sangat singkat, Sean mengacak rambut Hedya. Membuat Hedya merenggut kesal. "Gak usah pegang-pegang. Cepet," katanya singkat, lagi.

Sean terkekeh dan menarik tangan Hedya ke parkiran yang tentunya langsung ditepis oleh Hedya. "Bisa jalan sendiri." Hedya berjalan di depan, meninggalkan si empunya motor di belakang yang masih terkekeh.

Sean memberikan helmnya pada Hedya dan menstarter motornya, bersiap untuk beradu di jalanan. "Ayo, beb." Hedya mendengus lagi dan buru-buru naik keatas motor.

Setelah Hedya sudah duduk dengan nyaman, Sean langsung melaju keluar sekolah, tanpa menyadari kalau ada seseorang yang memperhatikan mereka.

##

"Ahhhhh. Pusing ah, nyerah ah gue. Susah banget tau ini, Hed. Nanti kalo ulangan gue nyontek aja ya? Yayaya?" pintanya dengan wajah yang paling memelas.

Hedya berdecak. "Gak ada nyontek-nyontekan. Buruan deh. Ini kan cuma tinggal dimasukkan angkanya ke cos, terus diitung. Ini udah yang dasarnya tau. Coba lagi."

Sean menggeleng dan mlah berbaring di karpet merah ruang tamu Hedya. "Gak mau. Cape, kepala aku pusing tau, Beb. Masa gak kasian sih sama pacar sendiri."

Tak!

"Pacar pala lu peyang. Buruan ah. Gue masih mau ngerjain yang lain nih," kata Hedya sambil menarik Sean untuk duduk lagi. Tapi dasarnya Seannya saja yang batu, hingga mau gak mau Hedya harus memakai kekuatan penuh untuk menariknya.

Dan..

Sean terduduk dengan wajah yang hampir menempel dengan Hedya, bahkan hidung mereka saja sudah bersentuhan. Baik Sean maupun Hedya tidak ada yang bergeming. Perlahan tapi pasti, Sean mendekatkan wajahnya ke Hedya, berniat untuk, yaa you know lah, tapi itu sebelum diinterupsi oleh seseorang.

"EH SEAN SOMPRET! LU MAU APAIN ADEK GUE!" ya. Suara Nevan tentu saja. Mendengar jeritan Nevan, Hedya langsung mendorong Sean menjauh hingga ia terjatuh. Membuatnya meringis.

"Maaf maaf. Khilaf suer. Maaf, gak nyadar." Berkali-kali Sean mengucapkan kata maaf. "Lu sih, Nev. Ngagetin aja anjir."

Nevan tertawa terbahak-bahak. "Ya, makanya kalo mau gitu-gituan tuh di kamar bukan di ruang tamu."

Langsung saja Hedya melempar bantal sofa ke kakaknya. "Kak! Mulutnya ya! Astaga kenapa cowok di sekeliling gue tuh begini semua ya."

"Eh, ide bagus tuh, Nev. Hed, ayo ke kamar."

"Anjir. Gue tabokin ampe lu beneran ye, Yan."

"Apaan sih, Nev. Orang ke kamar mau main ular tangga. Iya, kan, yang?"

Hedya mendengus. Salah apa dia kenapa dia harus dikelilingi cowok-cowok sarap seperti ini coba. "Yan. Mendingan lu pulang gih. Cape gue."

"Oke-oke, Tuan Putri. Pangeran ganteng mau pulang dulu. Jangan kangen oke?" godanya sambil menaik turunkan alisnya pada Hedya.

SEVENTEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang