Hedya baru saja membuka matanya beberapa saat yang lalu. Ia mengerjapkan matanya perlahan untuk menyamakan sinar dari matanya dengan sinar di ruangannya.
"Hed? Lu udah bangun?" Dan yang pertama kali ia lihat adalah Nevan.
Ia menunjuk kerongkongannya, bermaksud untuk meminta air karena kerongkongannya serasa seret. Sakit. "Mau apa? Permen?" Hedya mendengus dan menggeleng. Astaga kenapa dia punya kakak yang bodoh sekali.
"A--ir."
"Oh. Nih, nih." Hedya mmeminumnya lewat sedotan.
"Kak. Gue udah berapa lama gak bangun? Kerongkongan gue berasa sakit banget."
Nevan mengendikkan bahunya. "2 hari-an. Lagian lu betah banget deh koma."
"Sean? Dia gak apa-apa, kan?" Jujur, kalau saja waktu itu dia yang mengangkat teleponnya, pasti tidak akan terjadi kecelakaan.
"Hari itu dioperasi, hari itu juga dia sadar. Kakinya patah tulang, kepalanya terbentur keras sampe harus dioperasi, sisanya cuma luka-luka," Nevan mendesah pelan. "Bahkan Sean yang lebih parah aja kenanya, gak sampe satu hari dia sadar. Nah elu, yang cuman parah tulang di tangan aja ampe 2 hari gak bangun. Sangsi gue. Jangan-jangan elu cuma pura-pura ya? Cuma tidur kan lu? Dasar kebo lu ah."
"Kak. Kak. Sini deh. Gue mau bisikin sesuatu," ujarnya sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Nevan untuk mendekat. Begitu Nevan mendekat, dengan gerakan cepat, Hedya langsung memukul bahunya.
Membuat Nevan meringis karena dipukul secara bertubi-tubi. "Hed. Hed. Hed, sakit bego. Tuh, kan. Buktinya aja lu bisa mukul-mukul. Sakit boongan kali lu," ledek Nevan samb meringis, yang langsung dihadiahi pelototan dari Hedya.
"Mau dipukul lagi?" Nevan nyengir dan menggeleng. "Kak. Anterin ke kamarnya Sean."
"Yakin udah bisa jalan lu? Mau gue ambilin karung gak?"
Hedya menautkan kedua alisnya bingung. "Lah? Kok karung sih, Kak?"
"Yah buat ngangkat lu lah."
"Lah lu kata gue beras kali. Cepetan deh. Gue udah bisa jalan juga kali."
"Oke. Oke." Nevan membantu Hedya bangun dari tidurnya dan mengambil kursi roda di sudut ruangan.
Perlahan Hedya didorong oleh Nevan ke kamarnya Sean. "Hed. Gue pergi aja ya. Lu masuk sendiri aja. Gak enak gangguin orang pacaran," ledek Nevan yang langsung dihadiahi pelototan dari Hedya dan langsung memgambil seribu jurus untuk kabur.
"Kak. Kalo gue udah sembuh sih mati lu ama gue," pekik Hedya tanpa memusingkan mata-mata yang kini melihatnya.
Lalu ia masuk kedalam dan mendapati Sean seorang diri yang sedang menonton tv sambil berbaring di brankarnya. "Sean." Tanpa aba-aba, Hedya langsung memeluk Sean. Sean yang mendapat pelukan tiba-tiba, kaget dan langsung terbatuk-batuk karena pelukan Hedya yang sangat erat.
Sean memukul-mukul tangan Hedya pelan. "Hed. Hed. Sesek ini. Lu meluk berasa kayak gak ada besok hari tau gak." Hedya melepas pelukannya, nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cieee. Dateng-dateng langsung meluk. Kangen gue ya?" ejek Sean, menoel-noel pipinya.
"Eng--engga. Mana mungkin. Kepedean lu ah," jawabnya terbata, mengalihkan kepalanya ke samping. Pipinya terasa panas sekarang.
Sean terkekeh, mengacak rambut Hedya, gemas. "Malu-malu aje nih."
"Ledekin aje terus."
"Iya-iya. Engga ledekin lagi. Haha. Gimana tangannya?"
"Tadi sih kata Kak Nevan minggu depan udah boleh dilepas."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...