Pagi ini, di aula utama, jauh lebih ramai dari biasanya. Kalau biasanya hanya ada anak-anak jurnalis yang menggunakan aula utama untuk kegiatan ekskul, pagi ini berbeda.
Seluruh murid kelas sepuluh dan sebelas sudah duduk di kursi aula utama. Tentu saja tidak diam dan tenang. Kalian tahu sendiri apa yang akan terjadi kalau semua murid berkumpul di satu tempat, bukan? Tidak mungkin kalian akan berdiam diri. Pasti akan ribut.
Itulah yang dilakukan mereka sekarang.
Mengobrol satu sama lain. Membuat riuh di aula yang besar itu.
"Tes. Tes. Mic check."
Mendengar suara mic yang berbunyi, seluruh murid seketika hening. Setidaknya mereka masih bisa berdiam diri walaupun tidak semua, saat melihat kepala sekolah mereka naik ke atas mimbar.
"Baik. Selamat pagi, anak-anakku yang terkasih."
"SELAMAT PAGI, PAK."
"Sebelumnya, saya ingin memberi himbauan untuk kalian tetap tenang. Terlebih kelas sebelas yang sebagai kakak kelas, wajib memberikan contoh u
kepada kelas sepuluh selaku adik kelas kalian. Selama ada yang bicara di atas mimbar, jangan ada yang menyibukkan diri sendiri. Paham?""PAHAM, PAK!"
"Baik. Jadi tujuan saya mengumpulkan kalian disini adalah untuk memberitahu kalian semua, kalau minggu depan kita akan ada jalan-jalan sekolah karena kelas dua belas akan uji coba dari pemerintah."
Sontak, semua murid langsung berteriak heboh karena mendengar ada jalan-jalan sekolah. "Diam."
Hening melanda aula utama.
"Terima kasih," ujar sang kepala sekolah. "Dengan jalan-jalan sekolah ini, murid-murid dihimbau untuk menjalin keakraban satu sama lain selama seminggu. Dan, saya tidak mau mendengar ada kasus seperti murid hilang, murid yang tidak mau mendengar kata guru, atau apapun itu. Jadi saya harap, kalian semua bisa mengikuti aturan secara baik, taat dan disiplin. Mengerti?"
"NGERTI, PAK!"
"Baik. Sekian dari saya. Sekarang, kalian boleh kembali ke dalam kelas."
Dalam hitungan detik, semuanya sudah bubar jalan. Ada yang ke toilet, kantin, kelas, dan kemanapun itu. Biasalah.
"Wanjer. Akhirnya ada yang gue suka juga dari ini sekolah. Selama dua tahun gue sekolah disini, baru kali ini gue suka ama ini sekolah," kata Brian sembari merentangkan kedua tangannya dan menatap langit-langit kelas.
Ion mengangguk antusias, "iye bener. Anjir. Kita ada hasilnya juga menangin banyak lomba. Kadamg gue bingung, duit hasil lomba kita kemana ya?"
"Ya dipake buat sekolah lah. Lu kata ini sekolah gak ada biaya? Uang sekolah kita cukup buat bayar biaya sekolah semua?"
Hedya terkekeh, mengcak rambut Sean. "Tumber pinter, Yan."
Sean berdecak kesal, "untung Hedya pacar Sean."
"Emang kalo bukan pacar kenapa?"
"Ya Sean jadiin pacar lah. Kan Sean sayang Hedya," gombalnya dengan mata yang mengerling menggoda Hedya.
Hedya hanya membuang wajahnya muak. Begitu juga dengan Brian, Ion, Melina dan Aurel yang bergidik ngeri dan jengah dengan recehnya Sean.
"Ape lu? Gak ada yang gombalin ampe kayak gitu?" tanyanya pada mereka berempat.
Semua mendecih dan menoyor kepala Sean.
"Sakit, nyet."
##
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...