"Hai. Kamu gak ikut main?" Hedya mengelus rambut anak perempuan yang tidak ikut bermain. Dan anak perempuan itu menggeleng.
Ia senang sekali akhirnya bisa ke panti asuhan. Karena dia tidak boleh berpergian sendiri, dan Nevan tidak mau menemaninya ke panti asuhan. Omanya? Tidak mungkin. Karena Omanya sudah tua. Dan sekarang keinginannya terkabul berkat Sean.
Ngomong-ngomong Sean, ia sedang bermain sepak bola dengan anak-anak panti. Hedya tersenyum melihatnya. Tidak pernah Hedya lihat senyum seperti itu dari Sean.
Masih melihati Sean, Sean melambaikan tangannya pada Hedya yang dibalas lambaian tangannya dan senyuman tulus. "Hed. Mau main gak?" teriaknya dari tengah lapangan.
Hedya menggeleng. "Gak usah. Gak mau. Main aja sana."
"Oke." Dan ia kembali bermain lagi.
Anak perempuan yang tadi ia elus kepalanya memanggilnya. "Kenapa, sayang?"
"Kakak itu pacarnya kakak yang lagi main itu ya?"
Seketika Hedya terdiam. Bingung mau jawab apa. "Eng-engga kok. Kita cuma temenan doang. Eh, musuh deh."
"Ih, Kakak. Gak baik loh musuhan. Kata Bunda gak boleh musuh-musuhan. Gak baik. Nanti masuk neraka loh." Astaga. Rasanya Hedya ingin mencubit pipinya karena terlalu gemas.
Hedya tersenyum tulus dan mensejajarkan wajahnya denfan anak kecil itu. "Adik. Adik namanya siapa?"
"Maura, Kak."
Tidak tahan karena gemas, Hedya mencubit kedua pipinya. "Maura. Kakak gak beneran musuhan kok sama dia. Kakak cuma bercanda aja."
"Oh, bercanda doang ya, Kak?"
Hedya mengangguk. "Iya. Cuma bercanda."
"Maura! Kak Sean mau ajak main kincir angin. Ayo, mau ikut gak?" tanya anak laki-laki yang tiba-tiba berlari mendatangi tempat Hedya dan Maura.
Maura mengangguk mantap. "Ayo." Ia berlari sambil berpegangan tangan dengan anak laki-laki itu.
"Eh ilah, Mikael. Jangan lari-lari. Entar lu jato. Kesian tuh cewrk cakep digandengan lu," teriak Sean.
Hedya menahan tawanya dan ikut ketempat mereka bermain.
"Nah. Ini buat lu nih, Nyong." Sean memberikan kincir angin berwarna biru pada Mikael dan ia mengambil yang warna merah muda dan memberikannya pada Maura. "Nah. Ini untuk yang cantik. Namanya siapa?"
"Maura."
Hedya tak pernah melihat Sean yang seperti ini di sekolah. Sean terlihat seperti orang lain. Dan ia lebih memilih melihat Sean yang saat ini sedang bermain dengan anak-anak dibanding Sean yang begajulan di sekolah.
"Kak Hedya. Ayo ikut main." Maura datang dan menarik tangan Hedya. Sean tersenyum tulus padanya dan memberikan satu kincir angin padanya.
Mereka berlari-lari bersama agar kincir anginnya bisa berputar.
Lelah setelah bermain, mereka memilih untuk masuk kembali kedalam rumah panti. "Maura, Mikael. Mandi sama makan lagi gih. Keringetan kalian," ujar Hedya lembut.
"Oke, Kak."
Setelah mereka berdua pergi, Sean menarik tangan Hedya ke parkiran mobil. "Mau ngapain dah kita kesini?"
"Diem aje. Nih bantuin bawa." Sean memberikan sebuah kotal berukuran besar kepada Hedya.
Membuatnya mengernyitkan dahinya. "Itu kado natal buat mereka. Hari ini kan natal. Lu lupa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...