Keputusannya sudah bulat. Semalaman tidak tidur hanya untuk memikirkan keputusan yang sekarang ia buat.
Sean, remaja lelaki itu, bangun dari tidurnya, mencuci wajah, sikat gigi, mandi dan bersiap untuk ke sekolah.
Sebelumnya, tentu saja ia sarapan dulu.
"Oma."
Semua mata secara serempak menuju pada Sean. "Lah? Kenapa pada liatin Sean semua?"
"Ck."
"Oma."
"Hm? Kau sudah buat keputusan mu?"
Sekali lagi, secara serentak semua mata tertuju pada oma dan Sean secara bergantian.
"Keputusan?"
"Keputusan apa?"
"Ya. Sean sudah buat keputusan."
##
Langkah kakinya terus melangkah secara perlahan. Sesekali ia tersenyum kalau ada yang menyapanya, atau saat melihat kegilaan temannya yang seperti memanjat jendela kelas, lempar-lemparan buku, saling mengambil sepatu dan melempar ke teman yang lainnya.
"Bos!" Dari belakang secara tiba-tiba Brian dan Ion merangkul leher Sean. "Akhirnya lu keluar kandang juga," ejek Ion.
Sean terkekeh dan meninju bahu Ion. "Kandang pala lu peang. Lu kata gue binatang."
Brian dan Ion saling menatap dan sesaat kemudian mereka berseru, "EMANG!"
"Kan anjing lu mah, Bos."
"Bangsat emang," celetuknya seraya tertawa kecil dan meninju bahu kedua temannya itu.
Sudah sekitar hampir 2 tahun ia bersekolah disini. Menjadi kapten basket yang bahkan jarang sekali ia ikuti ekskul nya.
Brian dan Ion? Entah lah. Ia tidak mau menghitung sudah berapa lama ia berteman dengan kedua teman gesreknya itu.
"Laper nih."
"Iye. Belum sarapan gue."
"Enaknya kalo ada yang peka ya, Bri."
"Anjing. Ayolah gue traktir di kantin."
"Beneran nih?"
"1 menit gak sampe kantin, bayar sendiri."
Langsung saja kedua temannya itu berlari kesetanan menuju kantin. Membuat Sean menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Matanya kembali mengamati sekelilingnya. Merekam apapun yang terjadi sepanjang koridor, dengan senyuman kecil di wajahnya. Tanpa sadar matanya menangkap sosok Hedya di depannya dengan kedua temannya, oh mungkin tiga, karena Cherry sudah bergabung dengan Hedya sekarang.
Matanya seakan terkunci hanya pada Hedya yang kini juga menatapnya balik. Tatapan Hedya seakan menyuruhnya untuk berhenti melakukan apapun, memberi isyarat kalau Hedya sendiri juga rindu dan ingin memeluk Sean. Walaupun Sean tahu itu hanya imajinasinya, karena Hedya yang kemarin menyuruhnya pergi walaupun dengan asalan Wendy ternyata.
Sempat terbesit di benaknya untuk membawa Hedya kabur, tapi ia juga harus tahu, sadar diri bahwa ia tidak mungkin membawa kabur anak orang lain, apalagi ia masih anak-anak istilahnya. Belum bisa kerja. Boro-boro kerja, ijazah SMA aja belum dapat. Mau dihidupi dengan apa Hedyanya nanti.
Ingin sekali ia memeluk Hedya sekarang. Tapi tidak bisa. Sekali ia memeluk Hedya, bisa dipastikan keputusannya akan berubah. Ya. Kalian pasti sudah bisa menebaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...