23 - Semuanya Terungkap

6K 434 18
                                    

Chapter 23.

Pagi-pagi buta Naira dibangunkan oleh Sarah, Chapter 23.

Pagi-pagi buta Naira dibangunkan oleh Sarah, ibunya. Padahal jam belum menunjukkan pukul 4 pagi.

"Sayang, bangun dulu yuk sebentar, Mamah sama Papah ada yang mau diomongin," ujar Sarah lembut. Naira yang telah menangis semalaman karena kejadian kemarin sore membuka matanya sekuat tenaga.

"Mamah tunggu di meja makan 5 menit lagi ya," melihat anaknya sudah membuka mata, Sarah keluar dari kamar.

Dengan masih menggunakan pakaian tidur Naira turun ke bawah dan bertemu ayahnya yang entah kapan terakhir kali mereka bertemu. Naira memeluk sang ayah dengan erat.

"Kangen, Pah," ujar Naira di dalam pelukan ayahnya.

Mereka bertiga pun memulai sarapan pagi yang sangat awal dengan sepi. Tidak ada yang berbicara. Hanya terdengar suara sendok yang bergesekkan dengan piring. Untuk kedua orangtua Naira mungkin sarapan sepagi ini bukanlah hal aneh lagi, karena mereka melakukan rutinitas ini hampir setiap pagi dan jarang sekali mereka memanggil Naira untuk sarapan bersama.

"Tumben sampe bangunin aku, kenapa?" merasa ada yang tidak beres dengan keheningan ini, Naira pun mencoba untuk mencairkan suasana.

"Mata kamu kok bengkak gitu, Nai?" bukannya menjawab Sarah malah memberikan pertanyaan.

"Biasa, abis baca novel," jawab Naira santai. Tidak mungkin kalau dirinya memberi tahu kedua orang tuanya tentang kisah cintanya yang amat tragis.

"Mah," Andi, Ayah Naira pun mengintrupsi.

"Ada yang perlu Papah omongin sama kamu, Nai," ujar Andi tegas. Naira memberhentikan sendoknya, menandakan bahwa ia siap untuk memperhatikan dan mendengarkan ayahnya.

"Papah sama Mamah diangkat sebagai kepala cabang perusahaan," mata Andi menatap Naira tenang, Naira merindukan tatapan hangat ayahnya itu.

"Bagus dong," respon Naira senang.

"Tapi," ada jeda di ujung kalimat tersebut. Membuat hati Naira sedikit berdesir.

"Kita harus pindah ke Austria," lanjut Sarah cepat.

Kalimat tersebut membuat Naira kaget sampai ia terbatuk-batuk. Naira pun meminum airnya, dan mengambil napas panjang, bersiap-siap kembali mendengarkan kejutan yang tidak masuk akal.

"Kalau kamu gak mau pindah, gak apa-apa kok, Sayang, kita gak maksa kamu buat setuju. Iya kan, Mah?" mata Andi melirik istrinya agar suara mereka bulat.

"Iya, Nai, gak apa-apa kok kalau gak mau, kita gak akan ambil tawaran itu, kita udah berkecukupan kok dengan posisi kita yang sekarang," Sarah berusaha menenangkan putrinya yang terlanjur kaget.

"Tapi, Mamah sama Papah janji, kalau kamu setuju, di sana kita akan sering ngumpul. Kamu gak perlu sendirian terus, dan tiap weekend Mamah sama Papah akan libur," tambah Sarah.

Naira terdiam. Tidak pernah terbesit di otaknya bahwa ia akan pindah dari kota kelahirannya, ini adalah benar-benar suatu goncangan hebat. Menambah beban pikiran Naira yang sudah diberatkan dengan masalah Agha. Namun, ia tahu, ini adalah sesuatu yang lebih penting.

Ia melihat kedua mata orang tuanya, terbesit harapan baru di sana.

"Aku pikir-pikir dulu ya, Mah, Pah," akhirnya hanya kata-kata itu yang dapat keluar dari mulut Naira.

Kedua orang tua Naira bernapas lega dengan jawaban putrinya, itu membuat mereka sedikit senang, karena Naira tidak langsung menolaknya.

Belum juga masalah Agha ini usai, sudah ada lagi pikiran yang memenuhi otaknya. Naira terlalu mencintai kota kelahirannya ini, orang-orang dan kenangan di kota ini terlalu berat untuk Naira tinggalkan. Tapi, ia juga ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan mempunyai waktu lebih banyak dengan mereka adalah keinginan Naira sejak dulu.

Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang