☔ Kelas 1 : TIDAK PEKA!

604 58 3
                                    

"Aku antar, ya?" tawar Adhit ketika bel pulang berbunyi.

"Nggak usah! Aku bisa jalan sendiri. Lagian rumahku dekat, kok."

"Pokoknya aku antar!"

Adhit memegang pergelangan tangan Shila yang buru-buru dilepaskan Shila. Atik memperhatikan mereka berdua sambil tersenyum.

"Kamu bikin Atik mikir yang enggak-enggak, deh," kata Shila sambil terpincang-pincang keluar dari kelas.

"Emang Atik mikir apa?" tanya Adhit menjajari langkah Shila.

"Dia pikir kamu suka sama aku karena perhatian kamu yang berlebihan banget sama aku."

"Trus kamu bilang apa sama Atik?"

"Ya kubilang nggak mungkin lah! Eh ..., dia malah suruh aku periksa ke dokter kelamin. Ngecek jangan-jangan aku nggak normal karena kubilang nggak mungkin Adhit suka ma aku. Dan aku juga nggak mungkin suka ma cowok kayak kamu."

"Emang aku kenapa?" tanya Adhit sedih. Shila jadi merasa bersalah. Apa ucapannya barusan keterlaluan?

"Maksudnya, kamu, tuh bisa milih cewek cantik yang manapun di sekolah kita. Dan mereka pasti bilang 'ya'! Jadi nggak mungkinlah cewek biasa kayak aku, nih bisa bersaing sama mereka. Apalagi Deira yang wow banget itu!"

"Gitu, ya?"

"Menurut kamu? Emang nggak gitu?"

"Seharusnya, sih begitu," jawab Adhit datar.

"Yakin kamu nggak mau kuantar?" tanya Adhit sekali lagi. Shila menggeleng.

"Kalau aku memaksa?"

"Kalau aku tetap menolak, kamu mau apa?"

"Bagaimana kalau aku menggendongmu sampai ke mobil?"

"Kamu nggak akan kuat. Badanku, kan besar."

"Kuminta Pak Amir bantu gendong kamu," katanya sambil menunjuk sopir yang sudah stand by di samping mobil.

"Kalau aku meronta?"

"Aku akan tetap maksa kamu masuk ke mobil. Toh, kamu yang malu. Aku, sih biasa aja."

Iya juga, pikir Shila. Kalau dia meronta pasti teman-teman memperhatikan mereka terus besok-besok dia bakal malu karena jadi pesohor dadakan. Dan kelihatannya, Adhit tidak main-main dengan ancamannya. Sialan kamu, Dhit!

"Baiklah, aku mau kamu antar. Tapi sekali ini saja, ya?" Adhit mengangguk tanda setuju. Dibukakannya pintu mobil untuk Shila. Dan dia sendiri duduk di sebelah Shila.

Dari balik kaca mobil, Shila melihat Leni yang cemberut karena sudah berkali-kali merayu Adhit minta di antar tapi selalu gagal. Shila juga melihat Atik mengacungkn jempolnya sambil tersenyum. Ada rasa bangga dalam diri Shila. Juga rasa bahagia yang aneh. Dada Shila menjadi hangat dan berdebar-debar.

"Lomanis dulu, Pak. Antar ke rumah Shila," kata Adhit ke Pak Amir, sopir keluarga Adhit. Pak Amir pun mengangguk.

"Makasih, ya, Dhit," kata Shila sambil memandang ke arah Adhit. Adhit hanya mengangguk dan tersenyum. Sepanjang perjalanan Adhit hanya diam, tidak seperti biasanya. Cerewet dan jahil. Shila jadi bertanya-tanya apa ada omongan dia yang salah, ya? Ahh, mungkin Adhit hanya jaim di depan Pak Amir. Jangan-jangan Adhit cuma jahil kalau di sekolah sedangkan di rumah dia anak mami. Who knows, ya, kan?

"Besok pagi jam setengah tujuh aku jemput, ya," kata Adhit sewaktu menurunkan Shila di depan rumah.

"Nggak usah, Dhit. Nanti aku minta Papa anter aku."

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang