☔Kelas 1 : Gadis Hujan

556 53 2
                                    

"Kamu darimana aja, sih? Lama banget!" Adhit yang menunggu di pintu gerbang terlihat gusar melihat Shila baru datang. Hujan sudah reda.

"Belakang. Kamar mandi," jawab Shila pendek, "yang lain mana?"

"Udah di mobil! Nih, tasmu ketinggalan di kelas," kata Adhit sambil memberikan tas Shila.

"Astagaaa ... aku lupa!"

Shila mengambil tas dari tangan Adhit. Mereka bertemu pandang. Cepat-cepat Shila membuang muka.

"Mata kamu sembap? Kamu abis nangis, ya?" Adhit berusaha memandang wajah Shila.

"Nggak, tadi aku kehujanan." Shila menghindari tatapan Adhit sambil berjalan ke arah mobil. Adhit mengulurkan tangan, berusaha memalingkan wajah Shila. Namun Shila menepisnya dengan cepat dan bergegas menuju mobil.

"Kamu abis nangis." Adhit berkata pelan menyimpulkan. Dia mengejar langkah Shila, dan tersenyum sepanjang jalan.

"Wooiii!!! Kalian cepatlah! Dah siang, nih. Pacaran aja!" teriak Iman dari dalam mobil.

Adhit tertawa-tawa dan berlari mendahului Shila menuju mobil. Adhit membukakan pintu untuk Shila.

"Aku di depan, ya?"

Tidak seperti Adhit yang biasanya murung. Kali ini wajahnya terlihat bahagia sekali. Shila memandang heran padanya. Biasanya juga Adhit di depan dan dia di belakang, kenapa sekarang harus minta ijin? Aneh banget.

"Tenang, Dhit, Shila aman, kok di belakang. Yah, kalau boncel-boncel dikit maklumlah," kata Tulus di sambut tawa yang lain. Shila langsung melemparkan tasnya ke arah Tulus. Adhit mengamati dari kaca mobil sambil tertawa-tawa.

***

Rumah Adhit terletak di perumahan Pertamina khusus pimpinan. Besar kecilnya tipe rumah tergantung golongan kerja masing-masing karyawan. Orang tua Shila juga tinggal di perumahan Pertamina. Tapi khusus staff biasa. Rumah Adhit mungkin 3 kali lebih besar dari rumah Shila. Di rumah sebesar itu hanya ada Adhit dan kedua orangtuanya. Satu pembantu tinggal dirumah satu lagi pulang hari. Satu tukang kebun datang setiap minggu. Pak Amir, sopir pribadi keluarga Adhit, khusus menyetir untuk Adhit dan mamanya karena Mama Adhit tidak bisa nyetir sendiri. Sedangkan sopir Papa Adhit khusus disediakan oleh perusahaan.

Bukan hanya rumah Adhit yang luas. Halaman depan, belakang dan sampingnya juga luas. Mama Adhit tidak terlalu suka berkebun, jadi tidak banyak koleksi bunga di rumah itu. Hanya ada pohon mangga dan jambu, sisanya rumput dan tanaman perdu.

"Ini rumahku. Kita bisa bikin acara di dalam atau di halaman belakang," kata Adhit sambil membuka pintu kaca menuju halaman belakang. Posisi rumah lebih tinggi dari halamannya. Pagar hidupnya sudah tinggi sehingga isi halaman tidak tampak ke jalan. Konsep rumah di sini memang tanpa pagar permanen. Hanya pagar kawat berduri dengan pintu gerbang besi. Semua pintu dan jendela pun tanpa teralis. Karena keamanan terjamin 100%. Security patroli setiap saat. Akses pintu masuk tidak bisa dilalui sembarangan. Jika sudah malam, setiap tamu selalu diminta meninggalkan KTP. Tidak ada penjual keliling yang bisa masuk ke perumahan. Tembok tinggi mengelilingi area perumahan dengan lilitan kawat berduri di atasnya.

"Kayaknya enakan di belakang, deh, Dhit," kata Iman.

"Kita juga bisa lewat halaman samping, kan buat keluar masuk? Jadi keluargamu di dalam tidak terganggu." Teman-teman yang lain mengiyakan.

"Kalau hujan, gimana?" tanya Atik.

"Asal jangan bikin Shila nangis dijamin nggak bakal turun hujan!" sahut Rio. Sebagian tertawa, sebagian teman yang lain sedikit heran.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang