☀️ Bukan Deja Vu

120 11 2
                                    

Ada tamu di rumah Bu Wahab, induk semang Shila. Sudah dua hari ini, lantai dua yang dihuni anak-anak lelaki Bu Wahab terdengar ramai sekali. Dan Shila mendengar ada suara baru di antara mereka. Yang lebih gilanya lagi, dia merasa mendengar suara Adhit ketika mereka sedang bercakap-cakap. Hampir tiga tahun berlalu dan Shila masih sering mendengar Adhit memanggil namanya di kejauhan. Dia juga masih sering bermimpi tentang kejadian di terminal.

Dan kini suara tawa di lantai dua membuatnya hampir gila. Ditutupnya buku akuntansi lanjutan yang sedang dia pelajari. Dikenakannya jaket denim miliknya lalu dia keluar kamar dan mengunci pintu.

"Mau keluar, Teh?" Si Kembar Ela dan Eli yang sedang bersantai nonton tv di ruang rekreasi menegurnya.

"Iya. Ke wartel Ade. Kenapa? Ada pesen?" Shila menghentikan langkahnya yang sudah sampai di ujung tangga turun ke lantai dua.

"Titip beliin Rinso sachet, ya, Teh. Ela mo nyuci."

"Berapa renteng?"

"Dih, dua bungkus aja, Teh. Nggak pake renteng-renteng," jawab Eli tergelak.

"Oke. Ada lagi, nggak?"

"Nggak, Teh. Itu aja. Eh, uangnya?"

"Nggak papa, pake uang aku aja dulu. Ya, udah aku turun, ya."

"Iya, Teh. Makasih, ya, Teh Shilaaa!!!" Ela dan Eli koor serempak dengan suara lumayan keras. Shila tertawa pendek dan entah perasaannya atau bukan, dia merasa suara-suara di lantai dua yang tadinya ramai, mendadak senyap.

Sewaktu menuruni anak tangga, Shila merasa tubuhnya panas. Seolah jarum-jarum akupuntur dicucuk di sembarang tempat di kulitnya. Tangga ke lantai tiga melewati lantai dua. Cowok-cowok yang tadi ribut mendadak diam. Tapi dia enggan melirik ke arah mereka dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Setelah sampai ke lantai dasar, dia bingung. Mau ke mana sekarang? Masa mau langsung ke warung beli pesanan Si Kembar terus balik lagi? Jadi kayak pesuruh, dong dia. Ih, ogah banget! Akhirnya Shila memutuskan nongkrong saja di wartelnya Ade.

Sesampainya di depan wartel Ade, dia melihat cowok gondrong dan wangi itu sedang duduk di depan wartel dan ngobrol dengan Ade. Melihat kedatangan Shila, Ade melambaikan tangan.

"Mau ke mana, Teh?"

"Nggak tau, nih, De. Lagi enggak ada kerjaan."

"Sini atuh ngobrol sama Ade. O, iya, nih kenalin Ipank, temen Ade. Anak ITENAS."

"Institut Tergantung Nasib?" canda Shila. Tawa pun berderai di antara mereka.

"Kuliah di mana?" tanya Ipank sambil berdiri. Memberikan tempat duduknya untuk Shila.

"PAAP," jawab Shila pendek.

"Jauh amat anak PAAP ngekos di sini? Biasanya sekitaran DU."

"Cari suasana baru, dong. Masa di kampus sama di kosan ketemu orang yang sama terus."

"Bener juga. Eh, belum kenalan resmi." Ipank tiba-tiba mengulurkan tangan. Shila memandang tangan yang terulur itu dengan perasaan ragu. Ada penolakan dalam dirinya.

"Tangan aku bersih, kok. Tadi udah cuci tangan pake sabun Lux." Ipank yang melihat Shila hanya memandangi tangannya, menciumi telapak tangannya dengan ekspresi lucu. Shila mendadak tak enak hati.

"Eh, bukan gitu. Aku cuman ..., Duh, apa, ya?" Shila tertawa lepas lagi untuk menghilangkan rasa grogi.

"Elehhh, kalian kenalan meni hese! Sini ku Ade. Ipank, ini Teh Shila. Anak Kalimantan. Teh, ini Ipank, anak Sumatera. Kalian berdua kayaknya jodoh, deh. Asal dari pulau ketemu di Jawa," cerocos Ade yang membuat Shila tersipu.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang