_S.H.I.L.A_
Adhit menjaga jarak sejak saat itu. Dia tidak pernah antar jemput aku lagi. Kami jarang sekali terlihat bersama di depan orang banyak. Adhit hanya menyapaku seperlunya jika di kelas. Terkadang dia mengunjungiku ketika di kebun klub menanam. Itu pun jika tidak ada orang. Dari pandangan matanya aku tahu dia sangat merindukan kebersamaan kami. Karena aku juga begitu. Adhit belum bisa memberi jawaban sampai kapan kami begini. Gosip mulai beredar bahwa aku putus dengan Adhit. Tepat seperti yang Adhit perkirakan. Aku yakin semua cewek di sekolah Adhit bersyukur jika kami putus. Terkecuali Febi tentunya. Dia tahu cerita yang sebenarnya. Aku butuh tempat curhat dan Adhit juga pasti tidak keberatan jika aku curhat sama Febi. Dia pasti tidak mau aku jadi stres, kan?
Aku tidak terlalu peduli dengan gosip yang beredar. Aku lebih peduli dengan waktu yang semakin tipis diantara kami. Ahhh ..., Adhit aku sangat kesepian tanpamu. Sampai kapan ini berlangsung?
Siang ini pikiranku benar-benar suntuk. Sebentar lagi ujian semester. Aku merasa nilai-nilaiku tidak memuaskan. Kemarin-kemarin masih ada Adhit yang membantuku belajar. Sekarang aku harus berjuang sendiri.
Hari ini aku malas pulang cepat. Sedangkan Adhit pasti sudah pulang. Andaikan ada pun, aku bisa apa? Tapi aku penasaran, jika dia masih ada di sekolah, aku ingin menemuinya diam-diam dan mengajaknya pergi ke suatu tempat di mana tak ada orang yang tahu. Sungguh! Aku begitu rindu dia. Hingga rasanya aku sanggup memeluknya di tengah keramaian dan memohon dengan berurai air mata agar dia tidak pergi.
Sebegitu tipisnyakah harga diriku? Demi rindu. Semua demi rindu yang harus segera di bayar tunai!
Kulihat motor Adhit tidak ada di parkiran. Tentu saja aku hapal motornya. Jangankan motor, di tengah keramaian sekali pun, aku pasti bisa menemukan sosok Adhit dengan cepat. Seperti Nabi Musa yang membelah gelombang, ketika memejamkan mata, lautan orang-orang seolah menyingkir dan hanya dirinya yang akan terlihat.
Aku kesal. Entah untuk apa. Rinduku juga tak akan tuntas. Aku juga sedang tidak mood ngurusin kebun. Aku juga sudah keluar dari ekskul teater. Tapi aku butuh satu kegiatan untuk menghilangkan rasa jenuhku ini.
Bola gundul itu tergeletak begitu saja di tepi lapangan basket. Kulihat sekeliling, tidak ada siapapun. Syukurlah. Aku bisa mencari keringat dan melampiaskan jenuhku pada si bola ini.
Aku sebenarnya sangat suka bermain basket. Berlari membawa bola dan melayang di udara ketika memasukkan bola. Rasanya seperti pecah satu bisul ketika bola berhasil masuk. Lega dan bahagia.
Bola basket mulai kupantul-pantulkan. Berlari setengah lapangan dan memindahkan bola ke tangan kanan dan kiri bergantian. Keringatku mulai bercucuran. Dan semakin banyak keringat keluar semakin berkurang jenuhku. Aku mulai tersenyum.
Kuayun kakiku lebih cepat. Mengukur sudut yang tepat untuk menembak dan ... shoot! Bola membentur ring dan jatuh ke bawah. Sial! Wajar saja, aku sudah lama tidak latihan.
Penasaran, kuulangi lagi tembakan. Kali ini tak perlu sambil lari, aku harus berlatih lagi mengira-ngira, di titik mana dan dengan kekuatan dorong seberapa supaya bola bisa tepat masuk ke ring.
Shooottt!!!
Ahhh, gagal lagi. Benar-benar sudah tumpul kemampuanku.
Kupantulkan lagi bola gundul ke lantai. Kufokuskan titik tembak. Kali ini harus berhasil. Aku membuat target pada diri sendiri, sebelum masuk satu gol, aku belum mau pulang.
"Pake bola ini, Shil biar lebih mantap!" seru seseorang dari pinggir lapangan.
Aku menoleh dan kulihat Feri sedang berdiri di sana sambil bersiap melemparkan bola yang lebih bagus ke arahku. Aku menangkapnya dengan sigap. Kupantulkan beberapa kali, memang lebih pas pantulannya. Kembali kufokuskan titik tembak. Dannn ... Yakkk! Masuk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain to You
Romance(Before Men in The Lockers) Shila, cewek yang kalo nangis bisa nurunin hujan. Yang kalo ketawa matanya bersinar-sinar. Ketika Adhit, cowok popular satu sekolah yang ganteng dan tajir mlintir, nunjukin tanda kalo suka padanya, Shila berusaha menyangk...